Jumat, 07 September 2018
Sistem tanam paksa di indonesia
Sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) Di Indonesia (1830-1870)
1. Sistem Tanam Paksa 1830-1870
Sistem tanam paksa adalah sebuah aturan yang diperintahkan oleh Gubernur Van Den Bosch yang mewajibkan agar setiap desa menyisihkan tanahnya untuk ditanami tanaman ekspor. Pada tahun 1830 mulai diterapkan aturan kerja rodi (kerja paksa) yang disebut cultuur stelsel. Latar belakang penerapan cultuur stelsel yang merupakan serangkaian dari kebijakan pemerintah Hindia Belanda diawali oleh ketidaksenangan bangsawan di negeri Belanda terhadap cara-cara liberal yang diberlakukan di wilayah kolonial, hal ini didukung dengan kemenangan golongan konservatif di parlemen Belanda yang menginginkan cara lama yaitu penerapan politik Batig Slot (eksploitasi skala besar) terhadap wilayah koloni. Parlemen beralasan bahwa kerajaan Belanda membutuhkan anggaran untuk menutupi kekosongan kas kerajaan yang habis akibat membiayai perang Diponegoro dan Paderi dalam upaya politik Pax Netherlandica. Usulan kemudian datang dari Van Den Bosch “untuk mengisi kas negara yang kosong dapat dilakukan dengan pemberlakuan kebijakan tanam paksa dengan menanam tanaman ekspor secara besar-besaran yang laku di pasar Eropa. Tanaman ekspor atau wajib itu adalah tebu, kopi, teh, tembakau, cokelat, kina, nila atau indigo, dan kelapa sawit. Sistem ini pertama kali diperkenalkan di Jawa dan dikembangkan di daerah-daerah lain di luar Jawa.
Ciri utama dari pelaksanaan sistem tanam paksa adalah keharusan bagi rakyat untuk membayar pajak dalam bentuk pajak in natuna, yaitu dalam bentuk hasil-hasil pertanian mereka. ketentuan-ketentuan sistem tanam paksa terdapat dalam Staatblad (lembaran negara) No. 22 tahun 1834. Ketentuan-ketentuan pokoknya antara lain:
1. Orang-orang Indonesia akan menyediakan sebagian dari tanah sawahnya untuk ditanami tanaman yang laku di pasar Eropa seperti kopi, teh, tebu, dan nila. Tanah yang diserahkan itu tidak lebih dari seperlima dari seluruh sawah desa.
2. Bagian tanah yang disediakan sebanyak seperlima luas sawah itu bebas dari pajak.
3. Pekerjaan untuk memelihara tanaman tersebut tidak boleh melebihi lamanya pekerjaan yang diperlukan untuk memelihara sawahnya sendiri.
4. Bagian tanah yang disediakan untuk menanam tanaman dagangan dibebaskan dari pembayaran pajak tanah.
5. Hasil dari tanaman tersebut diserahkan kepada pemerintah Belanda dan ditimbang. Jika harganya ditaksir melebihi harga sewa tanah yang harus dibayar oleh rakyat, maka lebihnya tersebut akan dikembalikan kepada rakyat. Hal ini bertujuan untuk memacu para penanam supaya bertanam dan memajukan tanaman ekspor.
6. Tanaman yang rusak akibat bencana alam, dan bukan akibat kemalasan atau kelalaian rakyat, maka akan ditanggung oleh pihak pemerintah.
7. Pelaksanaan tanam paksa diserahkan kepada pegawai-pegawai pribumi, dan pihak pegawai Eropa hanya sebagai pengawas.
Ketentuan-ketentuan tersebut jika dicermati lebih lanjut nampaknya tidak terlalu membebani rakyat. Namun dalam pelaksanaannya, ternyata sering menyimpang jauh dari ketentuan sehingga merugikan rakyat dan sangat memberatkan beban rakyat. Adapun praktek yang dijalankan sebagai berikut:
1. Bukan 1/5 melainkan seluruh tanah petani untuk ditanam tanaman ekspor.
2. Seluruh tanah dibebankan pajak
3. Jam kerja petani lebih banyak dihabiskan untuk tanaman dan kebun pemerintah.
4. Kelebihan panen tidak dikembalikan dan ditambahkan pajak juga.
5. Gagal panen dan kerusakan ditanggung oleh petani.
6. Waktu wajib kerja diperkebunan melebihi 1/5 per tahun.
7. Bagi pejabat lurah atau bupati akan mendapatkan Cultuur Procenten (bonus) jika daerahnya bisa melebihi kouta ekspor, sehingga menimbulkan kesewenang-wenangan bupati kepada petani karena ingin mendapatkan Cultuur Procenten.
2. Pembabakan Sistem Tanam Paksa
1830-1850: Ekploitasi besar-besaran untuk mendapatkan keuntungan maksimum. Pada masa ini NHM menjadi perusahaan negara yang paling kaya di Eropa dengan kekayaan 848 juta Gulden, dua kali kekayaan VOC dalam satu tahun.
1850-1870: kemunduran yang disebabkan oleh tekanan politik dari dalam Negeri Belanda sendiri. Petani-petani mulai meninggalkan tanah-tanah mereka dan mulai merampok perkebunan-perkebunan pemerintah karena kesengsaraan petani-petani tersebut. Perkembangan revolusi industri dan kapitalisme di Eropa yang menyebabkan cara-cara monopoli harus ditinggalkan.
3. Akibat Sistem Tanam Paksa
1. Akibat Sistem Tanam Paksa Bagi Belanda
Bagi Belanda tanam paksa membawa keuntungan melimpah diantaranya sebagai berikut:
a. Kas Belanda menjadi surplus (berlebihan).
b. Belanda bebas dari kesulitan keuangan.
2. Akibat Sistem Tanam Paksa bagi Indonesia
Akibat adanya penyimpangan-penyimpangan pelaksanaan tanam paksa, maka membawa akibat yang memberatkan rakyat Indonesia yaitu:
a. Banyak tanah yang terbengkalai, sehingga panen gagal
b. Rakyat makin menderita
c. Wabah penyakit merajalela
d. Bahaya kelaparan yang melanda Cirebon memaksa rakyat mengungsi ke daerah lain untuk menyelamatkan diri
e. Kelaparan hebat di Grobogan, sehingga banyak yang mengalami kematian dan menyebabkan jumlah penduduk menurun tajam
Akibat dari kegiatan tanam paksa, rakyat Indonesia menderita kemiskinan yang berkepanjangan, kelaparan dan kematian terjadi di mana-mana. Sementara bagi Belanda merupakan ladang ekonomi yang banyak mendapatkan keuntungan. Kas Belanda yang awalnya kosong dapat dipenuhi kembali, kemudian secara berangsur-angsur utang Belanda dapat dilunasi dan menjadikan Belanda sebagai negara yang tidak mengalami kesulitan keuangan. Itulah akibat dari sebagian kecil penderitaan yang dialami bangsa kita saat dijajah oleh pemerintah Belanda dan yang dilakukan oleh bangsa kita sendiri yang menjadi bupati dan kepala desa karena ingin mendapatkan pujian dari penjajah. mereka senantiasa berlomba-lomba menyerahkan hasil tanaman rakyat sebanyak-banyaknya. Mereka tidak sadar saudara sebangsanya menangis karena kelaparan, meninggal karena tidak makan, anak menjadi yatim piatu karena bapaknya dihukum dan disiksa oleh Belanda. Akhirnya, terbongkar pada 1850 di negeri Belanda tentang penderitaan rakyat di pulau Jawa yang mengalami kelaparan dan kematian akibat adanya sistem tanam paksa.
4. Tokoh-Tokoh Penentang Terhadap Sistem Tanam Paksa
1. Golongan Pendeta
Golongan ini menentang atas dasar kemanusiaan. Adapun tokoh yang mempelopori penentang ini adalah Baron Van Hovel. Ia adalah seorang pendeta. Setelah kembali ke negerinya, ia menjadi anggota parlemen, kemudian ia bersama kelompoknya berupaya memperjuangkan nasib rakyat tanah jajahan. Akhirnya, muncullah kecaman keras supaya pemerintah menghapuskan sistem tanam paksa.
2. Golongan Liberal
a. Douwes Dekker, dengan nama samaran Multatuli yang menentang tanam paksa dengan mengarang buku berjudul Max Havelaar.
b. Frans Van De Pute, dengan mengarang buku berjudul Suiker Constracten (kontrak kerja).
5. Penghapusan Sistem Tanam Paksa
Di Sumatra Barat, sistem tanam paksa di mulai sejak tahun 1847, ketika penduduk yang telah lama menanam kopi secara bebas dipaksa untuk menanam kopi untuk diserahkan kepada pemerintah kolonial. begitu juga di Jawa, pelaksanaan sistem tanam paksa ini dilakukan melalui jaringan birokrasi lokal. Berkat adanya kecaman dari berbagai pihak, akhirnya pemerintah Belanda menghapus tanam paksa secara bertahap:
1. Tahun 1860 tanam paksa lada dihapus
2. Tahun 1865 tanam paksa nila dan teh dihapus
3. Tahun 1870 tanam paksa semua jenis tanaman dihapus kecuali kopi di Pringan
Selain di pulau Jawa, kebijakan yang hampir sama juga dilaksanakan ditempat lain seperti Sumatra Barat, Minahasa, Lampung, dan Palembang. Kopi merupakan tanaman utama di dua tempat pertama. Adapun lada merupakan tanaman utama di dua wilayah yang kedua. Di Minahasa kebijakan yang sama kemudian juga berlaku pada tanaman kelapa. Menghadapi berbagai reaksi yang ada pemerintah Belanda mulai menghapus sistem tanam paksa, namun secara bertahap. Sistem tanam paksa secara resmi dihapuskan pada tahun 1870 berdasarkan UU Landreform (UU Agraria).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar