KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT. Tuhan Yang Maha Esa. Berkat rahmat dan karunianya saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini yang berjudul “Situasi dan Kondisi Perkebunan di Sumatera Timur Pada Tahun 1945-1951.” tepat pada waktunya. Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah “Sejarah Perkebunan di Sumatera Timur”.
Makalah ini telah disusun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. untuk itu saya menyampaikan banyak terima kasih kepada yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini. Dan harapan saya semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan pembaca tentang sejarah perkebunan di Sumatera Timur, khususnya pada masa setelah kemerdekaan Indonesia.
Demikian yang dapat saya sampaikan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Dan saya menyadari bahwa makalah ini belum sempurna. Oleh karena itu, saya menerima saran dan kritik yang membangun dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Medan, 12 Januari 2018
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ........................................................................................... i
Daftar Isi .................................................................................................... ii
BAB I: PENDAHULUAN ........................................................................ 1
A. Latar Belakang .............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................... 1
C. Tujuan Makalah ............................................................................ 1
BAB II: PEMBAHASAN ......................................................................... 2
A. Sumatera Timur Pada Awal Kemerdekaan Indonesia .................. 2
B. Nasionalisasi Perkebunan Pada Tahun 1946-1947 ....................... 3
C. Perkebunan Klumpang/Klambir Lima Menjadi Lautan Api ........ 4
D. Pelaksanaan Dan penghasilan Perkebunan Di Sumatera Timur
Tahun 1949-1952 .......................................................................... 5
BAB III: PENUTUP ................................................................................. 8
A. Kesimpulan ................................................................................... 8
B. Saran ............................................................................................. 8
Daftar Pustaka ......................................................................................... iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkebunan di Sumatera Timur pertama kali dirintis oleh J. Nienhuys yang membuka perkebunan tembakau di Deli. Tembakau Deli merupakan komoditas ekspor di pasaran Eropa yang memiliki kualitas yang sangat bagus sehingga digemari di pasaran Eropa dan menjadikannya terkenal di pasaran Eropa. Keberhasilan yang diperoleh Nienhuys dengan keuntungan besar yang diperoleh telah menarik perhatian para pengusaha perkebunan asing Eropa untuk berlomba-lomba melakukan investasi perkebunan di Sumattera Timur. Komoditas yang mereka tanam adalah tembakau, karet, kelapa sawit, teh, dan lainnya. Sumatera Timur berkembang menjadi perkebunan yang besar.
Namun ketika Jepang masuk ke Sumatera Timur, seluruh perkebunan milik kolonial diambil alih seluruhnya oleh Jepang. Dan perkebunan-perkebunan banyak yang dialihkan kepada tanaman pangan dan untuk kebutuhan perang Jepang. Sehingga lahan-lahan perkebunan banyak yang berkurang. Dan ketika Indonesia merdeka lahan-lahan perkebunan banyak yang dinasionalisasi oleh Indonesia. Hal ini membuat pemakalah ingin mengkaji bagaimana situasi dan kondisi perkebunan tersebut setelah indonesia merdeka.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kondisi Sumatera Timur pada awal kemerdekaan Indonesia?
2. Bagaimana situasi perkebunan di Sumatera Timur ketika awal kemerdekaan Indonesia?
3. Apa yang menyebabkan terjadinya nasionalisasi perkebunan-perkebunan di Sumatera Timur
4. Bagaimana pelaksanaan dan penghasilan perkebunan di masa kembalinya perkebunan terhadap pemiliknya?
C. Tujuan Makalah
Untuk mengetahui apa saja yang terjadi di perkebunan Sumatera Timur setelah terjadinya kemerdekaan Indonesia serta untuk mengetahui bagaimana hasil perkebunan di Sumatera Timur setelah Indonesia merdeka.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sumatera Timur Pada Masa Awal Kemerdekaan Indonesia
Sumatera dalam panitia persiapan Kemerdekaan Indonesia diwakili tiga pemimpin politik dari Sumatera Timur, yaitu: DR Mohd. Amir, Tengku Mohd. Hasan dan Abdul Abas. Pada tanggal 19 Agustus 1945, panitia itu mengeluarkan sebuah keputusan yang menetapkan Sumatera sebagai satu dari delapan provinsi Indonesia. Presiden Soekarno mengangkat Tengku Hassan sebagai gubernur pertama untuk Sumatera. Tiga wakil Sumatera itu mengharapkan otonomi dalam urusan-urusan dalam dan luar negeri, tetapi bersedia menerima status provinsi di dalam Republik Indonesia setelah dibahas dengan utusan-utusan yang lain.
Ketika mereka tiba di Medan, Dr. Amir dan Tengku Hassan membentuk Komite Nasional Indonesia untuk Sumatera Timur. Hal ini ditentang oleh para Sultan dan pendukung-pendukungnya, mereka menghawatirkan masa depan politik mereka sendiri. Tetapi Komite ini mendapat dukungan yang sangat kuat dari golongan-golongan pemuda. Di Sumatera Timur, seperti di Jawa, golongan-golongan pemuda memainkan peranaan yang sangat penting dalam menjamin perjuangan untuk mempertahankan Republik Indonesia. Kepada orang-orang Jepang layak diberikan penghargaan karena telah melatih dan mengajarkan kepada pemuda Indonesia nasionalisme militan yang tinggi ditambah dengan perasaan-perasaan anti-Barat yang sangat kuat. Sumber indoktrinasi yang penting adalah pusat-pusat pelatihan pemuda (Seinen Renei Sho), yang diciptakan oleh Jepang untuk memberikan latihan politik dan militer berbarengan dengan kursus bahasa Jepang dalam waktu singkat. Di Sumatera Timur mereka menyelenggarakan dua pusat latihan seperti itu, satu di Medan dan satu lagi di Nagahuta dekat Pematang Siantar, wilayah pegunungan Simalungun. Tamatan dari pusat-pusat ini dapat memilih untuk memasuki Gyugun (Organisasi Angkatan Darat Jepang) maupun untuk memasuki pemerintahan sipil. Kebanyakan dari tamatan Medan menjadi perwira-perwira Gyugun dan dengan demikian menerima latihan militer tambahan.
B. Nasionalisasi Perkebunan Pada Tahun 1946-1947
Sepanjang tahun 1946 dan paruh pertama tahun 1947, manajer-manajer onderneming besar tidak menemui jalan masuk ke perkebunan mereka, tetapi bersama-sama dengan pejabat-pejabat sipil dan militer Belanda terkurung di Medan dalam kepungan yang ketat yang dipertahankan oleh pasukan-pasukan Indonesia di sekeliling garis terdepan itu. Keadaan di garis terdepan menjadi lebih buruk setelah penarikan pasukan-pasukan Inggris dalam bulan November 1946. Berulang-ulang pasukan-pasukan bersenjata Indonesia mengadakan tekanan bahkan menghentikan penyediaan air serta mencegah pamasukan bahan-bahan pangan dari pedalaman ke kota, yang dengan sendirinya menimbulkan kesukaran yang berat bagi penduduk sipil di Medan.
Saling melempar tuduhan yang tajam terjadi terus-menerus antara pasukan-pasukan Belanda dan Indonesia, masing-masing pihak menuduh yang lain melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap persetujuan genjatan senjata tanggal 14 Oktober 1946, terhadap garis damarkasi Medan yang disetujui tanggal 7 Desember 1946 selama kunjungan dua anggota Kabinet Republik, Amir Sjarifuddin dan Dr. A.K. Gani ke Sumatera; Dan terhadap Perjanjian Linggarjati kesulitan-kesulitan itu, sebahagian ditimbulkan oleh penolakan golongan-golongan militer Sumatera Timur, terutama pasukan-pasukan bersenjata yang berada di bawah pengaruh Persatuan Perjuangan, terhadap Perjanjian Linggarjati. Pengikut-pengikut PP menentang terutama ketentuan yang meminta dikembalikannya onderneming-onderneming kepada para pemiliknya, dan sebaliknya mendesak supaya semua perkebunan dinasionalisasi.
Selama masa ini perkebunan-perkebunnan itu memainkan peranan penting dalam Perjuangan Kemerdakaan Indonesia. Perkebunan-perkebunan itu dikuasai TRI dan golongan-golongan militer lainnya, yang menjual karet dan produk-produk perkebunan lainnya di Malaya baik secara langsung atau dengan bantuan perantara-perantara Cina. Penjualan-penjualan ini melengkapi dana-dana yang sangat dibutuhkan untuk pemerintahan Gubernur Hassan dan memungkinkan panglima-panglima militer untuk mengorganisasi, mempersenjatai dan memelihara unit-unit senjata mereka. Pejabat-pejabat Belanda dengan keras menentang perdagangan ini, yang mereka anggap sebagai penyeludupan. Pada akhir bulan Januari 1947 mereka membentuk blokade laut untuk mencegah ekspor produk-produk perkebunan dari wilayah Republik. Angkatan Laut Belanda memperlakukan semua komoditi yang diperkirakan berasal dari perkebunan-perkebunan sebagai barang gelap, mereka beranggapan bahwa produk-produk itu telah dihasilkan sebelum penyerahan Belanda pada bulan Maret 1942. Pihak Republik sebaliknya menganggap blokade itu sebagai pelanggaran terhadap semangat Perjanjian Linggarjati.
C. Perkebunan Klumpang/Klambir Lima Menjadi Lautan Api
Banyak orang yang ttidak tahu bahwa Klumpang dan Klambir Lima pernah menjadi lautan api yang cukup mengerikan. Betapa tidak seolah-olah kampung ditempat itu telah menjadi mangsa api semuanya. Padahal lidah api “sijago merah” yang menjilat ke angkasa itu di beberapa tempat dan ditempat yang dekat, karena bangsal-bangsal tembakau Belanda berhasil dibumi hanguskan. Jumlahnya tidak kepalang tanggung yaitu 68 bangsal dan sebuah gudang besar tempat “pemeraman” tembakau ditelan sijago merah. Sesuai dengan waktu yang telah ditentukan yaitu tanggal 17/18 Februari 1949, pasukan yang ditugaskan telah siap sedia ditempat masing-masing. Jam 19.30. waktu telah gelap dan suasana cukup sepi, maka bangsal-bangsal yang ada di Klambir Lima itupun menjadi lautan api. Sabotase yang dilakukan atau dipimpin oleh Dan Ton Sadiman tidak sepi dari tembak menembak dengan pasukan pengawal perkebunan (O.B) dengan pasukan yang melakukan sabotase itu. Dalam tembak menembak itu beberapa orang dipihak Belanda tertembak mati oleh pasukan “Gagak Hitam” yang dipimpin oleh Sadiman.
Aksi bumi hangus di Klumpang terlambat 30 menit, karena menunggu kode dari Medan, yaitu peledakan mesin pembangkit tenaga listrik di Gelugur, yang dijanjikan oleh Aneka Warna dan Usman Effendi. Untunglah Wardi dari seksi perhubungan menyampaikan berita, bahwa usaha untuk melakukan sabotase terhadap tenaga pembangkit listrik mengalami kegagalan. Karena itu Dan Tom Satim segera memerintahkan kepada Dan Ru yang telah siap menanti perintah pelaksanaan sabotase. Komandan Regu Tukijo membakar bangsal pengeringan tembakau yang berada di samping gudang besar “pemeraman” tembakau. Gudang itu berisi tembakau hasil dua kali panen dari perkebunan Mabar, Sentis, Sei Mencirim, Klambir Lima dan Klumpang. Tidak kurang 1000 bal tembakau bermutu tinggi yang menjadi kebanggaan Belanda segera akan diekspor musnah menjadi mangsa si “jago merah”. Beberapa puluh tumpukan besar tembakau yang belum dibal turut menjadi mangsa api. Dalam aksi di Klumpang ini tidak kurang dari 36 bangsal tembakau ditelan sijago merah dan 32 bangsal di Klambir lima. Jadi pada malam itu tidak kurang dari 68 buah bangsal yang menjadi mangsa api. Pihak Belanda merasa sangat terpukul dengan sabotase yang dilakukan oleh para pejuang Republik Indonesia.
D. Pelaksanaan Dan penghasilan Perkebunan Di Sumatera Timur Tahun 1949-1952
1. Tembakau
Pada tahun 1948, seluruh perkebunan tembakau di kabupaten Deli Serdang telah dikembalikan kepada pemiliknya. Dan pada tahun 1949, sebahagian besar dari 44 perkebunan dari sebelum perang, yang tidak rusak parah atau hancur telah dikerjakan kembali walaupun terdapat beberapa perkebunan atau bangsal yang digabungkan menjadi satu untuk dapat lebih efisien. Bangsal-bangsal didirikan kembali dan bengunan-bangunan yang rusak dan dibutuhkan telah dibangun kembali. Karena kurangnya tenaga berat atau peralatan seperti cangkul dan babat, serta naiknya upah dan ongkos maka pengusaha melakukan percobaan secara besar-besaran dengan tenaga mesin dan hasilnya adalah sangat memuaskan.
Pada tahun 1951, jika dibandingkan dengan tahun-tahun yang lalu, maka luas tanaman semakin berkurang dan jika dibandingkan dengan angka-angka maka luas tanaman hanya 30% saja. Mundurnya luas tanaman tembakau dalam tahun-tahun terakhir ini disebabkan beberapa kesulitan yang dialami oleh perkebunan. Kesulitan yang utama adalah soal tanah. Semasa pendudukan Jepang banyak tanah perkebunan tembakau yang dijadikan ladang untuk menambah bahan makanan. Hal yang demikian ini bertambah banyak ketika terjadinya agresi. Luas tanah-tanah ini jika dibandingkan dengan luas konsesi hanya sedikit sekali, tetapi karena letaknya berserak-serak maka sulit untuk perkebunan untuk mendapat tanah yang berdekat-dekatan dan yang belum pernah dijadikan ladang.
Pada bulan Februari 1951 terjadi pemogokan umum yang mengganggu pekerjaan pemindahan bibit persemaian ke penanaman luas. Pada Juni 1951 timbul pula kesulitan karena organisasi buruh melarang anggotanya menjalankan pekerjaan lembur selama belum terdapat keputusan tentan uang lembur tersebut. Pekerjaan yang terganggu karena ini ialah pekerjaan menjunduk tembakau dibangsal yang sudah kering. Walaupun tidak semua buruh yang mentaati perintah organisasinya, tapi tidak sedikit juga pekerjaan dihentikan waktu habis tempo kerja dan daun tembakau dibiarkan dalam bangsal menjadi kuning atau busuk. Juga karena tidak ada yang kerja lembur, maka pekerjaan lolosan tembakau yang biasa dilakukan malam tidak dijalankan lagi sehingga mengakibatkan bangsal penuh tembakau dan tidak ada tempat lagi untuk petikan baru. Maka daun yang telah tua tidak dapat dipetik lagi dan kering dipohonnya. Hal-hal tersebut sangat mengurangi kualitas tembakau. Di samping itu produksi tembakau pun sudah berkurang. Seperti terlihat pada tabel berikut:
Tahun Luas Tanaman Dalam Veld Hasil Dalam Pak
1939 20.079 151.550
1940 17.864 138.810
1949 7.139 70.224
1950 6.992 48.897
1951 6.552 42.000
2. Kelapa Sawit
Dalam tahun 1950 terdapat 30 kebun kelapa sawit dengan luas 59.120 ha yang menghasilkan. Penghasilan tahun 1950 adalah 124.614.312 kg minyak dan 30.572.035 kg biji kelapa sawit. Dalam tahun 1951 terdapat 30 kebun kelapa sawit dengan luas 61.196 ha tanaman yang menghasilkan. Penghasilan tahun 1951 berkurang dari penghasilan 1950, yaitu 114.860.888 kg minyak dan 29.855.969 kg biji kelapa sawit. Kemunduran ini sebagian besar akibat dari pemogokan-pemogokan dalam waktu tersebut. Dalam tahun 1952 di Sumatera Timur tercatat 30 kebun kelapa sawit dengan luas yang bisa menghasilkan 66.765 ha dan yang dipungut hasilnya adalah 64.756 ha. Dibandingkan dengan tahun 1951, angka penghasilan meningkat. Ini karena penambahan tenaga kerja. Penanaman baru dibeberapa kebun diadakan menurut rencana yang tertentu. Malahan ada kebun yang mengadakan konvensi dari karet ke kelapa sawit. Jumlah hasil tahun 1952 di Sumatera Timur adalah 136.641.100 kgminyak kelapa sawit dan 36.635.930 kg biji kelapa sawit.
3. Karet
Pada awal tahun 1950 banyaknya kebun yang menghasilkan ada 129 dan pada akhir tahun 1950 meningkat menjadi 135 dengan luas tanaman 120.598 ha. Dari luas tanaman tersebut menghasilkan 92.339.649 kg karet, terdiri dari sheets 56.072.548 kg (61%), crepe 14.859.705 kg (16%), zoolcrepe 3.597.713 kg (4%), latex 9.618.527 kg (10%) dan lain-lain jenis 8.161.156 kg (9%). Pada tahun 1951 terdapat 150 kebun dengan luas 139.318 ha. Dan menghasilkan 101.173.964 kg karet. Penghasilan perkebunan karet tidak terhindar pula dari pemogokan. Hal ini berlangsung pada bulan Februari 1951 dengan merosotnya hasil hingga 1/3 dari hasil panen Januari. Pada tahun 1952 luas tanaman yang menghasilkan adalah 208.008 ha, tapi yang di kerjakan hanya 170.268 ha dan yang lainnya tidak disadap karena kekurangan tenaga penderes atau tenaga kerja. Jumlah hasil tahun 1952 adalah 149.601.464 kg karet. Terdiri dari sheets 84.641.861 kg, crepe 19.983.384 kg, zoolcrepe 2.265.031 kg, latex 15.810.532 kg, dan lain-lain jenis 26.900.656 kg.
4. Teh
Tentang teh dapat dikatakan bahwa pada tahun 1950 luas tanaman teh pemetikan ada 9.148 ha dengan hasil dalam tahun tersebut 38.901.160 pound daun teh basah atau 8.313.252 pound teh kering. Dalam tahun 1951 tampak kenaikan hasil yaitu pada 10 perkebunan dengan rata-rata luas tanaman teh pemetikan 8.768 ha, dengan hasil 51.426.510 pound teh basah atau 10.919.117 pound teh kering. Dari penghasilan 1951 ini telah diangkut dari kebun untuk ekspor sebesar 7.566.463 pound dan untuk dalam negeri 3.214.284 pound.
Pada bulan Februari 1951 ada terjadi pemogokan yang menyebabkan merosotnya penghasilan sampai lebih dari separuh penghasilan bulan lalu, tetapi keadaan ini dapat diatasi dan tahun produksi 1951 dapat ditutup dengan kenaikan hasil dari tahun 1950. Pada tahun 1952, bulan Agustus ditutup pula dua kebun kepunyaan Sumatera Tea Estates (Mardjandji dan Martoba) karena menderita kerugian. Kebun-kebun ini pada awal tahun 1953 dibuka kembali oleh Bank Industri Negara yang mengambil over exploitasinya. Pada akhir 1952, luas tanaman teh pemetikan ada 6.867 ha. Hasil pada tahun 1952 adalah 13.157.082 pound teh kering. Jadi, tampak kenaikan juga.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Sumatera dalam panitia persiapan Kemerdekaan Indonesia diwakili tiga pemimpin politik dari Sumatera Timur, yaitu: DR Mohd. Amir, Tengku Mohd. Hasan dan Abdul Abas. Pada tanggal 19 Agustus 1945, panitia itu mengeluarkan sebuah keputusan yang menetapkan Sumatera sebagai satu dari delapan provinsi Indonesia. Presiden Soekarno mengangkat Tengku Hassan sebagai gubernur pertama untuk Sumatera. Tiga wakil Sumatera itu mengharapkan otonomi dalam urusan-urusan dalam dan luar negeri, tetapi bersedia menerima status provinsi di dalam Republik Indonesia setelah dibahas dengan utusan-utusan yang lain.
Mendengar hal itu para pemuda dan TRI langsung memblokade Belanda agar tidak masuk ke Sumatera Timur kembali untuk mengusahakan perkebunannya kembali. Para militer Indonesia menolak Belanda dan ingin menasionalisasi perkebunan-perkebunan milik asing. Belanda tidak diam karena perjanjian linggarjati sudah dilanggar oleh Indonesia, maka Belanda meakukan agresi terhadap Sumatera Timur. Dan pada tahun 1948 perkebunan-perkebunan mulai dikuasai lagi oleh pemilik-pemilik asing namun lahan mereka banyak yang mengalami kerusakan akibat pendudukan Jepang pada tahun 1942.
Penghasilan dan penyelenggaraan perkebunan setelah kembali ke pihak asing terus mengalami penurunan dalam hal hasil jika dibandingkan dengan sebelum pendudukan Jepang. Setelah tahun 1949 baru lah setiap perkebunan mengalami kenaikan penghasilan walaupun pada tahun 1951 terjadi pemogokan massal para buruh perkebunan.
B. SARAN
Bagi para pembaca pasti masih banyak menemukan kesalahan di makalah ini. Karena makalah ini masih belum sempurna. Karena di dalam makalah ini masih banyak mengalami kesalahan-kesalahan dalam hal penulisan maupun lainnya. Daripada itu penulis menerima segala saran maupun yang membangun dari para pembaca untuk kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Republik Indonesia, Provinsi Sumatera Utara, Medan: Kementerian Penerangan, 1953.
Pelzer. Karl J, Toean Keboen Dan Petani: Politik Kolonial Dan Perjuangan Agraria di Sumatera Timur 1863-1947, Jakarta: Sinar Harapan, 1985.
Twh. Muhammad, Rakyat Belanda Kaget Terhadap Kekejaman Serdadu Belanda: Di Masa Perang Kemerdekaan, Medan: Yayasan Pelestarian Fakta Perjuangan Kemerdekaan R.I., 1998.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar