Tunjangan Hari Raya (THR)
Dan Dinamika Hukum Buruh
Pengantar
Setiap tahun menjelang hari raya idul fitri, media massa sering sekali memberitakan terjadinya aksi unjuk rasa buruh menuntut pelaksanaan pembayaran tunjangan hari raya (THR). Laporan media massa umumnya menyoroti tidak terpenuhinya permintaan buruh yang menuntut apa yang seharusnya diterimanya dalam pekerjaannya. Lebih kurang selama 20 tahun terakhir ini, terutama sejak dibukanya pintu kebebasan berserikat pada Juli 1998, buruh industry memang telah lebih mampu menyuarakan tuntutan tentang THR. Tidak lagi sekedar dalam bentuk mogok spontan, melainkan melalui dan didorong oleh serikat buruhnya, menjadi lebih terorganisir dalam berjuang menuntut pelaksanaan THR.
Karena menjadi persoalan tiap tahunnya, muncul pertanyaan. Bagaimana THR dapat dianggap menjadi suatu kebiasaan yang wajib hukumnya? Sebagai suatu kebiasaan, bagaimana THR dapat menjadi sebagai lembaga social yang baku di masyarakat? Pertanyaan ini menjadi penting dalam melihat perkembangan THR sebagai suatu kebiasaan yang kita kenal sekarang ini.
Paper ini dimaksudkan ingin menjelaskan bagaimana awal mula kemunculan THR dan perkembangannya dalam aturan hukum di Indonesia. Di antara Negara Asia Tenggara, hanya di Indonesia saja dikenal adanya satu konsep kewajiban majikan untuk memberikan tunjangan kepada buruh dalam merayakan hari raya keagamaan. Terlebih lagi, keberadaannya itu dikukuhkan dalam aturan hukum. Ini menjadi satu penanda bahwa THR adalah ciri khas yang memang lahir dan pelaksanaannya berasal dari situasi khusus di Indonesia.
Untuk itu, uraian akan dimulai dengan penjabaran umum tentang latar belakang kondisi munculnya tuntutan akan THR pada 1950, dan menonjolnya peran SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia). SOBSI teguh dalam memimpin perjuangan gerakan buruh demi terpenuhinya tuntutan akan THR. Dalam perkembangannya, dari sebagai sebuah tuntutan serikat buruh, THR kemudian terlembagakan dalam aturan hukum menjadi bagian dari hak ekonomi buruh.
Awal Munculnya Tuntutan THR
Serikat buruh pada dekade 1950an memasukkan persoalan sosial-ekonomi dalam perjuangan tuntutannya akan kesejahteraan buruh lewat berbagai mekanisme. Yang terutama adalah melalui pemogokan. Pemogokan buruh memang mencapai puncaknya pada dekade 1950an seiring dengan upaya pembangunan system penyelesaian perselisihan perburuhan yang masih kecil. Dan lewat sistem penyelesaian perselisihan ini pula serikat buruh memperjuangkan tuntutannya. Yang menjadi persoalan upah selama decade 1950an itu sesungguhnya bukan hanya soal rendahnya upah yang diterima buruh secara nominal, tetapi juga soal rendahnya tingkat kenaikan upah. Terutama, saat dibandingkan dengan kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok. Upah yang rendah memang merupakan satu masalah klasik di dunia perburuhan. Yang tentunya membawa akibat-akibat bagi kehidupan social ekonomi buruh dan keluarganya.
Meskipun terjadi kenaikan upah di berbagai sector lapangan kerja, kenaikan tersebut terlalu rendah untuk dapat mengimbangi kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok. Selama decade 1950an, kaum buruh dipaksa untuk dapat mencukupi kebutuhan hidupnya dengan upah yang rendah sambil saat yang sama menyaksikan kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok yang berada diluar jangkauan upahnya.
Kondisi timpang antara upah buruh dan kenaikan harga kebutuhan pokok ini diulas gamblang oleh seorang pengamat ekonomi perburuhan Everett Hawkins sebagai berikut: “sangat rendahnya tingkat subsistensi yang dialami kaum upahan di Indonesia menyebabkan buruh berada dalam posisi subordinasi. Bukan hanya upah yang rendah, tapi juga harga 19 bahan-bahan makanan pokok di Jakarta naik 77 persen dari tingkat awal sebesar 100 pada 1953 menjadi 177 pada 1957, dan kemudian naik makin cepat, dari 258 pada 1958 menjadi 325 pada akhir 1959. Sementara itu upah tidak naik sedemikian cepatnya. Pembayaran dalam bentuk natura, tentu saja, membantu menopang upah yang diterima, namun dalam banyak kasus terbukti bahwa upah riil telah turun secara drastis”.
Dari sini dapat simpulkan hal-hal yang menjadi latar penyebab munculnya tuntutan akan THR. Latar belakang situasi ekonomi pada dekade 1950an adalah kemiskinan absolut yang dialami kaum buruh. Hal ini menyebabkan, sebagaimana dicatat Hawskins, posisi social ekonomi kaum buruh yang rendah didalam masyarakat umum, terutama dihadapan majikan. Kaum buruh berusaha menaikkan posisi tawarnya terhadap pengusaha.
Sekuat apapun perjuangan buruh, tuntutan akan kenaikan upah selalu menjadi persoalan yang sulit terselesaikan. Sekalipun gerakan buruh berhasil memperjuangkan tuntutan kenaikan upah, kenaikan tersebut masih sangat rendah dibandingkan dengan kenaikan harga barang-barang pokok. Dalam situasi demikian, tuntutan akan THR muncul sebagai tuntutan yang diajukan mengikuti tuntutan kenaikan upah. Harapannya tuntutan akan THR dapat dipenuhi (dan terselesaikan) dengan lebih mudah daripada (dan terselesaikan) dengan lebih mudah daripada tuntutan kenaikan upah. Selain itu juga, dibandingkan dengan tuntutan kenaikan upah, tuntutan akan THR diperkirakan lebih dapat diterima oleh pengusaha karena dirasakan tidak membebani. Dengan demikian, tuntutan akan THR dimaksudkan sebagai tuntutan pelengkap atas tuntutan kenaikan upah.
Dengan latar belakang demikian, dapat kita pahami munculnya tuntutan akan THR sebagai upaya perbaikan nasib kaum buruh umumnya. Meski demikian, tuntutan akan THR ini tidak sepenuhnya didukung oleh pemerintah dan juga masyarakat umum. Sebagian berpendapat bahwa tuntutan akan THR justru akan semakin membebani pengusaha, terutama mereka yang termasuk dalam usaha kecil dan menengah. Dan pada gilirannya justru akan merugikan kaum buruh sendiri. Dari pihak pemerintah sendiri, persoalan tuntutan akan THR masih dilihat dalam kacamata politik-keamanan, terutama saat tuntutan itu diajukan di dalam pemogokan. Pemogokan buruh memang masih dicurigai oleh pemerintah dan penguasa militer daerah sebagai bentuk gangguan keamanan.
Namun, sepanjang 1951-1952 masih belum ada aturan atau keputusan resmi pemerintah menyangkut THR baik soal kepastiannya sebagai salah satu hak buruh (bukan semata-mata hadiah) maupun soal ini besarannya. THR masih dianggap sebagai pemberian yang bersifat sukarela yang tidak dapat dipaksakan. Menghadapi situasi yang demikian, tuntutan akan THR tetap lantang disuarakan oleh gerakan buruh. Hal ini secara langsung juga memaksa pemerintah untuk benar-benar memperhatikan kondisi social ekonomi penghidupan buruh dan terlepas dari soal unsur kerugian perusahaan, agar berani menetapkan THR sebagai suatu kewajiban terhadap pengusaha. Di dalam perjuangan tuntutan akan THR ini, dapat kita telusuri peran sentral gerakan buruh.
SOBSI Dan Perjuangan Tuntutan Akan THR
Dalam menyuarakan tuntutan akan THR
SOBSI menjadi penggerak utama diantara serikat-serikat buruh lainnya. Sebagai organisasi buruh dengan anggota terbanyak pada masanya, SOBSI mengambil peran yang dominan dalam menyuarakan tuntutan akan THR. Tuntutan akan THR pada 1951-1952 umumnya memang masih ditangani serikat buruh di daerah. Namun mulai akhir 1952, tuntutan itu sudah manjadi dengung nasional. Menanggapi perkembangan ini, SOBSI menjadi lebih lantang. Bahkan dalam sidang Dewan Nasional ke II pada Maret 1953 di Jakarta, SOBSI berani menyuarakan agar pemberian tunjangan hari raya bagi semua buruh sebesar satu bulan gaji kotor .
Tuntutan SOBSI akan THR sebesar satu bulan gaji kotor tidaklah berlebihan. Sebab, sesungguhnya tuntutan ini didasarkan pada praktik yang terjadi di beberapa perusahaan. Ini bisa juga dilihat dari satu putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (P4) mengenai tuntutan pemberian THR pada 1951, yang menyebutkan isi besaran THR sebagai berikut:
1. Yang tidak beristri satu bulan gaji pokok dengan minimum Rp 175 - dan maximum Rp 650.
2. Yang sudah beristri 1 ¼ gaji pokok sebulan dengan minimum Rp 250 dan maksimum Rp 750.
3. Mereka yang telah bekerja pada 6 Juli 1951:
0 – 3 bulan diberikan ¼ dari jumlah perizinan diatas
3 – 6 bulan diberikan ½ dari jumlah perizinan diatas
6 – 12 bulan diberikan ¾ dari jumlah perizinan diatas.
Sampai tahun-tahun berikutnya, perjuangan tuntutan akan THR ini tetap menjadi perhatian program kerja SOBSI. Secara khusus, perkembangan yang terjadi di kalangan pegawai negeri diperhatikan seksama agar juga dapat ditiru langkah perjuangannya, dan hasilnya dinikmati oleh buruh swasta. Hal ini bisa kita lihat dari program tuntutan SOBSI pada 1955, yang isinya sebagai berikut:
1. Mendesak kepada pemerintah untuk mengeluarkan peraturan yang mewajibkan para pengusaha partekelir untuk membayar tunjangan hari raya tahun 1955 kepada kaum buruh.
2. Mendesak kepada pemerintah untuk memberikan tunjangan hari raya kepada segenab kaum buruh negeri, baik kepada pegawai yang digaji menurut peraturan gaji pegawai negeri (PGP), buruh otonom, pamong desa, pegawai non aktif, kaum pensiunan, tentara dan polisi.
3. Menyerukan kepada semua kaum buruh, baik anggota maupun bukan anggota SOBSI, supaya lebih mempererat persatuan dan kerja sama serta memperhebat perjuangan untuk berhasilnya tuntutan tunjangan hari raya tahun 1955 dan selanjutnya.
Dari Tuntutan Buruh Menjadi Aturan Hukum
Kerasnya tuntutan serikat buruh akan THR akhirnya memperoleh pengakuan pemerintah dengan terlembagakannya dalam aturan hukum. Pengakuan pemerintah atas tuntutan serikat buruh akan THR mempunyai dua makna simbolis. Pertama, sebagai bukti bahwa tuntutan serikat buruh memiliki urgensi kepentingan yang perlu dipenuhi. Kedua, penyaluran tuntutan serikat lewat lembaga hukum merupakan upaya pemerintah dalam meredam militansi serikat buruh, terlebih lagi ketika yang menuntut adalah pegawai negeri.
Hal ini dimulai pada 1954 dengan terbitnya peraturan tentang apa yang disebut sebagai persekot hari raya . Berbeda dari bentuk pemberian (sebagai hak) sebagaimana yang dituntut gerakan buruh, THR diberikan dalam bentuk persekot. Dengan kata persekot ini, pemerintah berkenan memberikan bantuan THR, yang wajib dibayar kembali dikemudian hari. Pemberian bantuan persekot ini dilakukan bagi semua pegawai negeri. Pengakuan pemerintah lewat pemberian persekot THR hanya bagi pegawai negeri tidaklah menyurutkan tuntutan buruh swasta. Tuntutan akan THR berlanjut terus. Menghadapi lantangnya tuntutan gerakan buruh, menteri perburuhan saat itu, S.M. Abidin, berupaya meredamnya dengan menerbitkan surat edaran no. 3676/54 tentang hadiah lebaran. Surat edaran ini ditujukan kepada seluruh pengusaha di Indonesia. Surat edaran ini berisi anjuran kepada pengusaha swasta untuk secara sukarela memberikan hadiah lebaran kepada buruh.
Meski demikian, dalam kenyataannya, surat edaran ini, tidak membawa banyak perubahan. Ini lebih disebabkan karena surat edaran ini tidak memiliki kekuatan hukum. Sifatnya lebih berupa anjuran dan bukan paksaan/kewajiban yang harus dilaksanakan. Oleh karena itu pula, THR masih dianggap semata-mata sebagai hadiah oleh pengusaha kepada buruh, yang diberikan secara sukarela.
Dalam konteks demikian, tidak mengherankan apabila kemudian sejak 1959 Kementrian perburuhan di bawah pimpinan Ahem Erningpradja yang nasionalis, mulai aktif membaca situasi perburuhan dan menerbitkan satu aturan yang mengukuhkan keberadaan THR sebagai hak ekonomi buruh, yakni dengan terbitnya peraturan Menteri Perburuhan no. 1/1961 tentang Tunjangan Hari Raya Lebaran. Jadi, istilah hadiah lebaran ataupun pembayaran istimewa lebaran diganti secara resmi menjadi tunjangan hari raya lebaran, dan istilah ini masih tetap kita gunakan sampai sekarang. Menurut peraturan 1961 ini, THR menjadi hak bagi buruh swasta yang mempunyai hubungan kerja sekurang-kurangnya 3 bulan tidak terputus. Secara menyeluruh, hak akan THR tersebut diatur penuh dan cukup lengkap dalam aturan baru ini. Selama tahun-tahun berikutnya, isi aturan ini dikukuhkan kembali lewat peraturan mentri perburuhan . Perbedaan yang ada hanya berupa jumlah nominal besaran THR tiap tahunnya.
Dan pada 1964 ditetapkan pula surat edaran bahwa pegawai pemerintah juga berhak mendapatkan THR . Pada 1965, isi yang sama dikukuhkan melalui surat edaran lainnya. Peraturan-peraturan ini merupakan langkah besar dalam perjuangan serikat buruh, bahwa pada akhirnya THR diakui sebagai hak buruh, baik buruh swasta maupun pegawai pemerintah.
THR Dalam Kontrol Politik Ekonomi Negara
Sejak naiknya rezim orde baru, akomodasi politik Negara atas serikat buruh secara perlahan mulai berubah seiring dengan iklim politik yang mengeleminasi elemen-elemen radikal yang dianggap membahayakan stabilitas Negara. Walau orde baru tidak menambah hal baru ataupun mengubah substansi peraturan tahun 1961, THR masih diakui sebagai hak ekonomi buruh pada tahun-tahun awal kekuasaannya. Hal ini dapat dilihat sebagai upaya membangun pandangan yang positif. Orde baru ingin dipandang sebagai rezim baru yang melindungi buruh demi pembangunan ekonomi yang dijanjikan. Hal ini bisa dilihat pada 1967 dengan terbitnya keputusan menteri tenaga kerja yang mengandung substansi serupa dengan peraturan 1961. Sementara pada tahun berikutnya, lewat keputusan menteri tenaga kerja pula, isi besaran THR ditetapkan . Ini adalah upaya untuk memberikan kepastian dalam pengukuran THR sehingga tuntutan buruh dapat diprediksi dan juga dinetralisir ketika dianggap sudah melebihi batas hukum. Sampai 1968, dapat dikatakan bahwa THR masih diakui sebagai hak buruh.
Perubahan kebijakan perburuhan mulai terjadi secara formal sejak 1969 dengan terbitnya undang-undang tentang perburuhan yang menjadi pijakan orde baru dibidang perburuhan . Hal ini seiring dengan pembentukan serangkaian kebijakan ekonomi dengan berpilarkan dalil ekonomi kapitalis liberal Dalam penataan struktur social masyarakat. Termasuk didalamnya, restrukturisasi politik yang dapat menciptakan kendali atas gerakan buruh, guna pembangunan ekonomi. Dalam konteks control social politik inilah, perubahan kebijakan terjadi. Lewat sebuah surat edaran , menteri tenaga kerja, Mohammad Sadli, seorang ekonom rektokrat yang pada periode 1968-1972 menjabat sebagai ketua komite penanaman modal asing (KPMA), mempermasalahkan keberadaan THR yang dianggap dapat membebani pengeluaran investor. Surat yang ditujukan kepada semua pengusaha di Indonesia itu menyarankan diadakannya pengganti tunjangan hari raya.
Pengganti THR dianggap dapat mempermudah persoalan dalam kepastian berusaha, dan terlebih mengurangi beban ekonomi sebagai salah satu daya tarik bagi investor asing. Tanpa adanya penjelasan lebih lanjut, istilah pengganti THR memang punya arti luas dan bisa ditafsirkan sesuai kepentingan pengusaha. Surat ini jelas mengakibatkan ambiguitas, dan memberikan kesempatan bagi pengusaha untuk dapat menetapkan keputusan secara sepihak. Dengan ini, pengusaha bisa dengan mudah berdalih telah memberikan pengganti THR sehingga tidak merasa perlu memenuhi kewajiban untuk memberikan hak buruh akan THR.
Semenjak terbitnya surat menteri 1972 ini, praktis keberadaan THR sebagai hak ekonomi buruh menjadi sulit dalam pelaksanaannya. Walau sesungguhnya, keputusan menteri tenaga kerja no. 16/1968 tidak pernah dicabut dalam aturan hukum positif. Penyusuran media massa sepanjang 1970an tidak menemukan adanya liputan akan pemenuhan pelaksanaan THR maupun tuntutan buruh akan THR. Praktis, buruh menjadi tidak dapat mengajukan tuntutan akan THR, meskipun sesungguhnya, dasar aturan hukum masih menjamin. Hilangnya tuntutan akan THR di dalam dunia perburuhan sepanjang 1970an ini sejalan dengan semakin ketatnya kendali pemerintah atas gerakan buruh. Dan selama kurun waktu 20 tahun selanjutnya, kondisi ini terus berlanjut menjadi suatu hal yang normal. Tidak lagi dipertanyakan dan dipersoalkan mengapa THR menglami mati-suri.
Seiring dengan itu, buruh tidak diberikan kesempatan untuk menyuarakan apa yang menjadi hak dan kepentingannya secara bebas dan mandiri. Juga, buruh tidak dimungkinkan untuk mempertanyakan isi suatu aturan yang dikeluarkan pemerintah, terlebih bila itu menyangkut hak dan kepentingannya. Karena itu pula, aksi pemogokan dan demonstrasi buruh pada masa itu bukan hanya mustahil, tapi juga menjadi salah satu tabu social politik. Menuntut hak menjadi suatu tindak pidana melawan Negara, sekalipun hak tersebut dijamin undang-undang ataupun berdasarkan hak azasi manusia. Terlebih pula, tuntutan buruh dilihat sebagai suatu yang melawan kondrat social karena kewajiban buruh semata-mata adalah bekerja demi pembangunan. Buruh tidak dianggap sebagai actor utama didalamnya, yang berhak pula menikmati hasil-hasil pembangunan. Sebagai akibat, keberadaan THR sebagai hak ekonomi buruh menjadi kabur.
Walaupun demikian, gerakan buruh tidak sepenuhnya melupakan apa yang sudah diperjuangkannya. Kebijakan industrialisasi yang dijalankan orde baru telah melahirkan kaum buruh yang secara perlahan membentuk identitas diri sebagai kelas proletar yang mulai berani menyuarakan tuntutan-tuntutan ekonominya diluar institusi kendali Negara. Terlebih pula karena, saluran-saluran resmi disumbat atau buntu, dan kebebasan berserikat tidak dapat dinikmati buruh guna memperjuangkan hak dan kepentingannya. Dalam kondisi inilah, dapat dipahami sepanjang 1989 hingga 1993 terjadi lonjakan angka pemogokan yang memuncak pada 1994. Lonjakan pemogokan ini cukup tinggi, bahkan menurut catatan resmi pemerintah (yang terkenal sering memberikan angka / tafsiran yang konservatif).
Pemogokan buruh sepanjang 1993-1994 ini memang nyatanya didominasi oleh tuntutan ekonomi, dan persoalan tentang THR menduduki penyebab kedua demonstrasi/ Pemogokan buruh sesudah tuntutan akan upah. Hal ini serupa dengan apa yang sebelumnya terjadi pada 1951-1952. Sebangun pula dapat kita llihat bahwa pemogokan buruh di awal decade 1990an ini lebih disebabkan karena persoalan perbaikan nasib bukan dilatarbelakangi politik seperti yang ditakutkan reim orde baru dengan menuding adanya actor intlektual di balik pemogokan buruh.
Dalam situasi demikian, aksi pemogokan terkemuka pada masa orde baru adalah pemogokan buruh yang terjadi di Medan pada April 1994. Pemogokan ini, sebagaimana terungkap dalam pleidoi Muchtar Pakpahan, ketua SBSI (Serikat Buruh Sejahtera Indonesia), justru berawal dari pemenuhan tuntutan atas THR. Selengkapnya sebagaimana tercatat: “unjuk rasa itu diawali mogok spontan tanggal 11 Maret 1994. Tanggal 11Maret 1994 (jum’at), sekitar 27 buruh perusahaan di Medan serentak mogok. Tanggal 11 Maret 1994 adalah hari terakhir bulan puasa, atau satu hari menjelang hari raya idul fitri. Walaupun sudah tinggal satu hari menjelang lebaran, banyak perusahaan belum membayar THR, padahal menteri tenaga kerja sudah menginstruksikan 14 hari menjelang lebaran sudah harus dibayarkan THR” Pemogokan buruh industry di Medan yang terjadi di masa itu membuka kesempatan bagi gerakan buruh untuk mulai berani menyuarakan tuntutannya. Tidak terpenuhinya hak buruh akan THR memang sudah menjadi masalah yang akut. Justru karena itu pula, tuntutan akan THR menjadi pintu utama yang membuka kedok politik pemerintah yang terjadi dalam dunia perburuhan, yang selama itu selalu ditutup-tutupi dan dikubur paksa dalam kebisuan social poltik Negara.
Menghadapi pemogokan buruh ini, pemerintah tidak mampu berbuat banyak. Terlebih pula, yang menjadi persoalan dasar penyebab pemogokan buruh adalah persoalan perbaikan nasib. Meski demikian, pemerintah tidak sungguh-sungguh berupaya menyelesaikan persoalan mendasar ini. Yang justru terjadi, pemerintah pada 1994 malah menerbitkan peraturan menteri tenaga kerja yang konon didasari oleh perhatian pemerintah kepada tenaga kerja Indonesia yang umumnya berpenghasilan rendah.
Isi peraturan 1994 ini menyerupai peraturan sebelumnya dengan perbedaan substansial pada dua hal: hak buruh kontrak atas THR, dan pengecualian dari kewajiban pemberian THR. Dua hal yang substantive ini dapat dijadikan tolak ukur seberapa serius perhatian pemerintah sesungguhnya terhadap mereka yang umumnya berpenghasilan rendah. Dengan demikian, THR sesungguhnya belum diakui sebagai hak buruh. Melainkan, hanya dianggap sebagai istrumen kebijakan social Negara. Selama 20 tahun ini keberadaan THR sebagai hak ekonomi buruh memang menjadi kabur dan tuntutan agar THR dianggap sebagai tuntutan kepentingan bukan dianggap sebagai tuntutan normative.
Jadi, peraturan 1994 ini tidak bermaksud hendak mengakui kembali keberadaan THR sebagai hak buruh, melainkan hanya sebagai bentuk perhatian pemerintah. Lewat peraturan ini, pemerintah orde baru ingin membangun citra sebagai Negara yang melindungi buruh yang umumnya berpenghasilan rendah, tapi tidak pada tahap pengakuan akan hak ekonominya. Malainkan, dengan menggunakan THR sebagai alat kampanye untuk meredam gejolak buruh. Dalam konteks demikian, dapat dimengerti kekecewaan gerakan buruh.
Penutup
Paper ini telah memperlihatkan bagaimana awal dan perkembangan THR dalam dinamika hubungan perburuhan Indonesia. THR yang dimulai sebagai tuntutan buruh pada 1950 setelah perjuangan panjang melalui aksi mogok dan teknis hukum, berhasil menjadi norma hukum positif pada awal 1960an. Di dalam konteks pergulatan politis masa itu, THR adalah bagian dari upaya pemerintah guna meredam militansi gerakan buruh dengan mengakuinya sebagai hak ekonomi buruh. Sayangnya, di dalam perjalanan sejarah kondisi social politik Negara selanjutnya, THR menjadi bagian dari kendali rezim orde baru atas gerakan buruh. Keberadaannya sebagai hak buruh dikaburkan, dan bahkan dijadikan tali kekang yang dapat dikencang-kendurkan sesuai dengan kepentingan stabilitas ekonomi politik Negara.
Dalam dinamika Negara dan gerakan buruh itu, terlihat bahwa aturan hukum tentang THR telah menjadi istrumen yang dipergunakan oleh pemerintah apapun rezimnya, baik orde lama maupun orde baru dalam menghadapi gejolak tuntutan buruh. Fungsi hukum yang istrumentalis ini terjadi dalam arena intraksi antara Negara dengan masyarakat yang diaturnya yang dalam hal ini adalah gerakan buruh.
Aturan hukum tidaklah membetu-beku dalam perjalanan sejarah, melainkan sangat bergantung pada dan dipengaruhi oleh koondisi social politik yang melingkupinya. Dalam konteks demikian, maka mudah dipahami bahwa walau berada dalam control social politis pemerintahan orde baru, gerakan buruh tidak begitu saja melupakan apa yang telah menjadi hasil dari perjuangannya akan THR, dan ini menjadi sumber ingatan kolektif masyarakat yang dikemudian hari terlembagakan sebagai kebiasaan.
Sumber Bacaan
Suryomenggolo jafar, politik perburuhan era demokrasi liberal 1950an, Yogyakarta: pusat studi dan dokumentasi sejarah Indonesia, 2015.
Pakpahan, Muchtar, rakyat menggugat, Jakarta: pustaka forum adil sejahtera, 1996.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar