BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MAKALAH
Setelah menyerahnya Jan Willem Janssens yang diserang oleh Inggris, maka Gubernur Jendral Inggris di India yaitu Lord Minto menunjuk Thomas Stamford Raffles sebagai Letnan Gubernur Jawa (1811-1816). Dengan ini muncullah sejarah baru kolonial Inggris di Indonesia. Raffles dalam menjalankan pemerintahannya di Indonesia ia ingin mengadakan perubahan-perubahan dalam sistem pemerintahan di Indonesia karena Raffles mempunyai keyakinan akan kebaikan sistem pemerintahan Barat. Selain dalam bidang pemerintahan, perubahan-perubahan yang hendak dilakukannya adalah dibidang ekonomi. Raffles menganggap bahwa pemerintah kolonial adalah pemilik semua tanah yang ada di daerah jajahan. Kewajiban membayar sewa tanah kepada pemerintah dikenal dengan landrent atau sewa tanah. Sewa tanah diserahkan sebagai pajak atas pemakaian tanah pemerintah oleh penduduk.
Jadi dalam makalah ini akan membahas tentang konsep atau sistem pertanahan yang dijalankan pada saat Inggris berkuasa di Indonesia. Kebijakan yang dilakukan Raffles yaitu Land Rent atau pajak tanah/sewa tanah, yang dalam pelaksanaannya banyak mengalami penyimpangan dan kegagalan dikarenakan banyaknya pegawai yang bertindak semena-mena terhadap penduduk dan benyaknya pegawai yang korup. Dalam hal ini perlu kita ketahui mengapa pemakalah membahas tentang ini karena untuk mengetahui apa saja kebijakan yang diambil oleh Raffles dan mengapa kebijakan tersebut bisa mengalami kegagalan. Dan juga untuk membedakan pemerintahan-pemerintahan pada masa Raffles dengan yang lainnya seperti pemerintahan Deandeals dan lainnya.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Konsep Pertanahan Pada Masa Raffles?
2. Bagaimana Pelaksanaan Sistem Sewa Tanah (Landrent) Pada Masa Raffles?
3. Apa Penyebab Kegagalan Sistem Sewa Tanah (Landrent) Pada Masa Raffles?
C. TUJUAN MAKALAH
1. Untuk mengetahui Bagaimana Perkembangan Konsep Pertanahan Pada Masa Raffles.
2. Untuk Mengetahui Bagaimana Pelaksanaan Sistem Sewa Tanah (Landrent) Pada Masa Raffles.
3. Untuk Mengetahui Apa Penyebab Kegagalan dari Konsep Sewa Tanah (Landrent) Pada Masa Raffles.
BAB II
PEMBAHASAN
A. KONSEP PERTANAHAN PADA MASA THOMAS STAMFORD RAFFLES
Letnan Gubernur Jendral Thomas Stamford Raffles (1811-1816) yang mewakili pemerintahan Inggris di Indonesia, di usahakan cara pembaharuan. Raffles merupakan seorang pembaharu dan penentang feodalisme sebagaimana Deandels.¹ Pemerintahan Raffles didasarkan atas prinsip-prinsip liberal, seperti halnya pada Van Hogendorp, jadi politik kolonial yang hendak mewujudkan kebebasan dan kepastian hukum. prinsip kebebasan mencakup kebebasan menanam dan kebebasan perdagangan. keduanya akan menjamin adanya kebebasan produksi untuk ekspor. Raffles bermaksud menetapkan politik kolonial seperti yang dijalankan oleh Inggris di India.² Di India, pemerintah kolonial Inggris menarik pajak bumi melalui sistem pengelolahan agraria yang sebenarnya merupakan warisan dari sistem pemerintahan kekaisaran Mughul atau Monggol (1526-1707).³ Menurut suatu sistem yang kemudian terkenal sebagai sistem pajak tanah (Landrent System).
Pokok-pokok sistem Raffles adalah sebagai berikut:
1. Segala bentuk dan jenis penyerahan wajib maupun pekerjaan rodi perlu dihapuskan dan rakyat tidak dipaksa untuk menanam satu jenis tanaman, melainkan mereka diberi kebebasan untuk menentukan jenis tanaman apa yang akan ditanam dengan memberi kebebasan penuh untuk berdagang.
2. Pengawasan tertinggi atas tanah-tanah langsung dilakukan oleh pemerintah dengan menarik pendapatan atas tanah-tanah dengan pendapatan dan sewanya tanpa perantara bupati. Peranan para Bupati sebagai pemungut pajak dihapuskan dan sebagai gantinya mereka dijadikan bagian integral dari pemerintahan kolonial dengan fungsi-fungsi pemerintahan yang sesuai, perhatian mereka harus terpusat pada pekerjaan-pekerjaan umum yang dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat.
3. Menyewakan tanah-tanah yang diawasi pemerintah secara langsung dalam persil-persil besar atau kecil, menurut keadaan setempat berdasarkan kontrak-kontrak untuk waktu yang terbatas. Para petani yang menggarap tanah dianggap sebagai penyewa tanah milik pemerintah. Untuk penyewaan tanah ini para petani di wajibkan membayar sewa tanah atau pajak atas pemakaian tanah pemerintah.⁴
Kebijakan yang ditetapkan oleh Gubernur Thomas Stamford Raffles adalah pajak tanah atau Landrent. Dari hasil penelitiannya, pemilik tanah-tanah didaerah swapraja di Jawa disimpulkan bahwa semua tanah milik raja, sedangkan rakyat hanya sekedar memakai dan menggarapnya. Karena kekuasaan telah berpindah kepada pemerintah Inggris, maka sebagai akibat hukumnya adalah hak pemilikan tas tanah-tanah tersebut dengan sendirinya beralih pula kepada raja Inggris. Dengan demikian, tanah-tanah yang dikuasai dan digunakan oleh rakyat itu bukan miliknya, melainkan milik raja Inggris. Oleh karena itu, mereka wajib memberikan pajak tanah kepada raja Inggris sebagaimana sebelumnya diberikannya kepada raja mereka sendiri.
Beberapa ketentuan yang berkaitan dengan pajak tanah dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Pajak tanah tidak langsung dibebankan kepada para petani pemilik tanah, tetapi dibebankan kepada kepala desa. Para kepala desa diberi kekuasaan untuk menetapkan jumlah sewa yang wajib dibayar oleh tiap petani.
2. Kepala desa diberi kekuasaan penuh untuk mengadakan perubahan pada pemilikan tanah oleh para petani apabila hal itu diperlukan guna memperlancar pemasukan pajak tanah. Dapat dikurangi luasnya atau dicabut penguasaannya jika petani yang bersangkutan tidak mau atau tidak mampu membayar pajak tanah yang ditetapkan baginya. Tanah yang bersangkutan akan diberikan kepada petani lain yang sanggup memenuhinya.
3. Praktik pajak tanah menjungkirbalikkan hukum yang mengatur pemilikan tanah rakyat sebagai akibat besarnya kekuasaan kepala desa. Seharusnya luas pemilikan tahanlah yang menentukan besarnya sewa yang wajib dibayar, tetapi dalam praktik pemungutan pajak tanah itu justru berlaku yang sebaliknya. Besarnya sewa yang sanggup dibayarlah yang menentukan luas tanah yang boleh dikuasai seseorang.5
Tentang penyewaan tanah, menurut Raffles pemerintah Gubernemen sebagai penganti raja-raja Indonesia merupakan pemilik semua tanah-tanah sehingga dengan demikian mereka boleh menyewakan tanah-tanah tersebut yaitu dengan menuntut sewa tanah berupa pajak tanah, maka pendapatan negara akan baik. Untuk menentukan besarnya pajak, tanah dibagi menjadi tiga kelas, yaitu :
1. Kelas Satu yaitu, kelas yang subur dikenakan pajak dari setengah hasil bruto.
2. Kelas Dua yaitu, kelas tanah setengah subur dikenakan pajak sepertiga dari hasil bruto.
3. Kelas Tiga yaitu, kelas tanah tandus dikenakan pajak dua per lima dari hasil bruto.
B. PELAKSANAAN SISTEM LANDRENT
Gubernur Jendral Stamford Raffles banyak memanfaatkan kolonial (Inggris) sebagai perangkat (struktur pelaksana) sewa tanah, dari pemungutan sampai pada pengadministarian sewa tanah. Meskipun keberadaan dari pada bupati sebagai pemungut pajak telah dihapuskan, namun sebagai gantinya mereka dijadikan bagian integral (struktur) dari pemerintahan kolonial, dengan melaksanakan proyek-proyek pekerjaan umum untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk.
Tiga aspek sistem pelaksanaan sewa tanah :
1. Penyelenggaraan sistem pemerintahan atas dasar modern.
Pergantian dari sistem pemerintahan yang tidak langsung yaitu pemerintahan yang dilaksanakan oleh para raja dan kepala desa. Penggantian pemerintahan tersebut arti bahwa kekuasaan tradisional mereka dikurangi ataupun ditiadakan. Kemudian fungsi para pemimpin tradisional tersebut digantikan oleh para pegawai Eropa.
2. Pelaksanaan pemungutan sewa tanah.
Pada masa VOC pemungutan sewa tanah adalah pajak kolektif, dalam artian pajak tersebut di pungut bukan dasar perhitungan perorangan tapi seluruh desa. Pada masa sewa tanah, hal ini digantikan jadi pajak kewajiban .
3. Penanaman tanaman dagang untuk di ekspor.
Pada masa sewa tanah, terjadi penurunan dari sisi ekspor misalnya tanaman kopi yang merupakan tanaman komoditas ekspor pada awal abad 19, hal ini karena Kurangnya pengalaman para petani dalam menjual tanaman mereka di pasar bebas, karena para petani dibebaskan menjual sendiri tanaman mereka.
Kedudukan dan pola kerja rakyat pada masa sistem sewa tanah ini pada dasarnya tidak jauh berbeda pada masa sistem tanam paksa. Pada sistem sewa tanah rakyat tetap saja harus membayar sewa tanah kepada pemerintah. Rakyat diposisikan sebagai penyewa tanah, karena tanah adalah milik pemerintah sehingga untuk memanfaatkan tanah tersebut untuk menghasilkan tanaman yang nantinya akan dijual dan uang yang akan di dapatkan sebagian digunakan untuk membayar pajak dan sewa tanah tersebut. Pada masa sewa tanah ini pajak yang diserahkan bukan lagi berupa pajak penerangan dan berupa in-natural, tetapi lebih pada pajak perorangan.
Setiap orang dibebaskan menanam apa saja tanaman ekspor dan bebas menjualnya kepada siapa saja dipasar yang telah disediakan oleh pemerintah. Tetapi karena kecenderungan rakyat yang telah terbiasa dengan tanam paksa dimana mereka hanya menanam saja, untuk menjual tanaman yang mereka tanam tentu saja mengalami kesulitan sehingga mereka kemudian menyerahkan urusan menjual hasil pertanian kepada para kepala desa.6 Dan tentu saja hal ini berakibat pada banyaknya korupsi dan penyelewengan yang dilakukan oleh para kepala desa. Gagasan sistem sewa tanah dalam pelaksanaannya membawa pengaruh yang besar. Sistem sewa tanah telah menimbulkan perubahan-perubahan penting. Unsur-unsur paksaan telah diganti dengan unsur kebebasan, sukarela dan hubungan perjanjian atau kontrak.
Raffles ingin agar petani dapat berdiri sendiri dan bebas menentukan sendiri tanaman apa yang akan dikerjakan seperti tebu, kopi, nila, lada, dan rempah-rempah. Tetapi petani-petani tidak terbiasa mengambil prakarsa sendiri. Gagasan utama dalam sistem pelaksanaan sistem sewa tanah membawa akibat perubahan-perubahan antara lain :
a. Unsur paksaan diganti dengan unsur kebebasan, sukarela dan hubungan kontrak.
b. Hubungan antara pemerintah dan rakyat didasari oleh sifat kontak.
c. Ikatan adat istiadat menjadi semakin longgar dan menjadi bercorak kebarat-baratan.
d. Kehidupan ekonomi barang diganti dengan uang.
C. KEGAGALAN SISTEM LANDRENT
Pelaksanaan sistem sewa tanah yang dilakukan Gubernur Jendral Thomas Stamford Raffles pada sistem pertanahan di Indonesia menemui beberapa kegagalan. Sistem sewa tanah yang diberlakukan ternyata memiliki kecenderungan tidak cocok bagi pertanahan milik penduduk pribumi di Indonesia. Sistem sewa tanah tersebut tidak berjalan lama. Hal ini disebabkan beberapa faktor dan mendorong sistem tersebut untuk tumbang kemudian gagal dalam peranannya mengembangkan kejayaan kolonisasi Inggris di Indonesia.
Kegagalan yang utama, disebabkan Raffles kurang meneliti kehidupan sosial di pedesaan Jawa. Pelaksanaan pemungutan sewa tanah mengalami kesulitan. Pungutan terpaksa tidak dilaksanakan secara perorangan tetapi secara kelompok desa. pungutan ini dilakukan oleh pejabat yang bertindak sewenang-wenang dan korup. Usaha Raffles untuk menjalankan sistem sewa tanah akhirnya gagal.7
Beberapa faktor kegagalan sewa tanah antara lain :
1. Keuangan Negara yang terbatas, memberikan dampak terhadap minimnya pengembangan pertanian.
2. Pegawai-pegawai yang cakap jumlahnya cukup sedikit, selain karena hanya diduduki oleh kalangan pemerintah Inggris sendiri, pegawai yang jumlahnya sedikit itu kurang berpengalaman dalam mengelola sistem sewa tersebut.
3. Masyarakat Indonesia pada masa itu belum mengenal perdagangan ekspor seperti India yang pernah mengalami sistem sewa tanah dari penjajahan Inggris. Dimana pada abad ke 9 masyarakat Jawa masih mengenal sistem pertanian sederhana, dan hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Sehingga penerapan sistem sewa tanah sulit diberlakukan karena motivasi masyarakat untuk meningkatkan produktifitas pertaniaannya dalam penjualan ke pasar bebas belum disadari betul.
4. Masyarakat Indonesia terutama di desa masih terikat dengan feodalisme dan belum mengenal ekonomi uang, sehingga motivasi masyarakat untuk mendapatkan keuntungan dari produktifitas hasil pertanian belum disadari betul.
5. Pajak tanah yang terlalu tinggi, sehingga banyak tanah yang terlantar tidak digarap, dan dapat menurunkan produktifitas pertanian.
6. Adanya pegawai yang bertindak sewenang-wenang dan korup.
7. Singkatnya masa jabatan Raffles yang hanya bertahan 5 tahun, sehingga ia belum sempat memperbaiki kelemahan dan penyimpangan dalam sistem sewa tanah.
Sewa tanah tetap memberatkan rakyat dan menggambarkan seakan-akan rakyat tidak memiliki tanah, padahal tanah tersebut adalah milik rakyat Indonesia. Penghasilan sewa tanah juga tidak seluruhnya digunakan untuk kemakmuran rakyat. Hasil sewa tanah tersebut sebagian besar digunakan untuk kepentingan penjajah. Kekuasaan Inggris selama 5 tahun di Indonesia, juga menghadapi perlawanan rakyat Indonesia di berbagai daerah. Sebagai contoh adalah perlawanan besar rakyat Kesultanan Palembang pada tahun 1812. Sultan Sultan Mahmud Baharuddin menolak mengakui kekuasaan Inggris. Inggris kemudian mengirim pasukan dan menyerang kerajaan Palembang yang terletak di Sungai Musi. Perlawanan rakyat Palembang dapat dikalahkan oleh tentara Inggris, tetapi semangat kemerdekaan rakyat Palembang tetap membara. Inggris juga menghadapi perlawanan dari kerajaan besar di Jawa yakni Kesultanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Namun sebelum kedua kerajaan melakukan penyerangan, Inggris berhasil meredam usaha perlawanan tersebut.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Thomas Stamford Raffles diangkat sebagai Letnan Gubernur di Jawa (1811- 1816). Di bawah pemerintahan Inggris tidak ada jabatan Gubernur Jenderal di Jawa. Tahun 1811-1816 Indonesia dipimpin oleh Thomas Stamford Raffles di bawah kekuasaan Inggris, Raffles dikenal berbeda dengan Daendels yaitu ia seorang pembaharu dan penentang feodalisme. Raffles adalah seorang pembaharu dan penentang feodalisme sebagaimana Daendels. Raffles, ia menerapkan sistem sewa tanah atau lebih dikenal landrent. Namun pada kenyataannya sistem sewa tanah yang diterapkan Raffles mengalami kegagalan. Salah satunya karena pajak tanah yang terlalu tinggi, sehingga banyak tanah yang tidak digarap.
Pelaksanaan sistem pemungutan pajak tanah ini, tidak semua dapat dilakukan menurut gagasannya, karena banyak menghadapi kesulitan dan hambatan yang timbul dari kondisi di tanah jajahan. Malahan praktek pemungutan pajak tanah banyak menimbulkan kericuhan dan penyelewengan. Belum adanya pengukuran luas tanah yang tepat, kepastian hukum dalam hak milik tanah belum ada, hukum adat masih kuat, penduduk belum mengenal ekonomi uang dan sulit memperoleh uang menyebabkan pelaksanaan pemungutan pajak yang dilancarkan Raffles tidak berhasil dan banyak menimbulkan penyelewengan. Keinginan Raffles untuk memperbaiki kebijakannya ini terhalang oleh terjadinya perubahan politik di Eropa yang membuatnya terpaksa meninggalkan Indonesia.
B. SARAN
Makalah ini membahas tentang konsep hak milik pertanahan pada masa pemerintahan Raffles. Yang bermamfaat untuk menambah pengetahuan pembaca tentang kebijakan-kebijakan pertanahan pada masa Raffles, Serta sebagai contoh bagi pemerintah agar tidak melakukan hal yang sama pada saat ini karena kebijakan tersebut hanya membuat masyarakat tetap sengsara. Dan akhirnya Bagi Para Pembaca yang telah membaca makalah ini, Pasti menemukan kesalahan-kesalahan dalam penulisan tentang materi ini. Untuk itu kami pemakalah menerima kritik dan saran dari semua pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Dan apabila ada informasi yang bermanfaat yang terdapat dalam makalah ini, maka bisa diambil sebagai tambahan ilmu dan referensi bagi para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ricklefs M. C, Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995), hlm. 174.
2. Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru:1500-1900 Dari Emporium Sampai Imperium jilid I, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987), hlm. 192.
3. Supriadi, Hukum Agraria, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 42.
4. Sartono Kartodirdjo, op.cit., hlm. 292-293
5. Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 18-19.
6. Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia Jilid V: Jaman Kebangkitan Nasional dan Masa Akhir Hindia Belanda, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1975) hlm 3.
7. Nugroho Notosusanto,Sejarah Nasional Indonesia Jilid 2, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1979), hlm. 178
http://geschiedenisfarizpratama.blogspot.co.id/2015/11/sewa-tanah-pada-masa-thomas-stamford.html
Senin, 10 September 2018
Jumat, 07 September 2018
Sistem tanam paksa di indonesia
Sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) Di Indonesia (1830-1870)
1. Sistem Tanam Paksa 1830-1870
Sistem tanam paksa adalah sebuah aturan yang diperintahkan oleh Gubernur Van Den Bosch yang mewajibkan agar setiap desa menyisihkan tanahnya untuk ditanami tanaman ekspor. Pada tahun 1830 mulai diterapkan aturan kerja rodi (kerja paksa) yang disebut cultuur stelsel. Latar belakang penerapan cultuur stelsel yang merupakan serangkaian dari kebijakan pemerintah Hindia Belanda diawali oleh ketidaksenangan bangsawan di negeri Belanda terhadap cara-cara liberal yang diberlakukan di wilayah kolonial, hal ini didukung dengan kemenangan golongan konservatif di parlemen Belanda yang menginginkan cara lama yaitu penerapan politik Batig Slot (eksploitasi skala besar) terhadap wilayah koloni. Parlemen beralasan bahwa kerajaan Belanda membutuhkan anggaran untuk menutupi kekosongan kas kerajaan yang habis akibat membiayai perang Diponegoro dan Paderi dalam upaya politik Pax Netherlandica. Usulan kemudian datang dari Van Den Bosch “untuk mengisi kas negara yang kosong dapat dilakukan dengan pemberlakuan kebijakan tanam paksa dengan menanam tanaman ekspor secara besar-besaran yang laku di pasar Eropa. Tanaman ekspor atau wajib itu adalah tebu, kopi, teh, tembakau, cokelat, kina, nila atau indigo, dan kelapa sawit. Sistem ini pertama kali diperkenalkan di Jawa dan dikembangkan di daerah-daerah lain di luar Jawa.
Ciri utama dari pelaksanaan sistem tanam paksa adalah keharusan bagi rakyat untuk membayar pajak dalam bentuk pajak in natuna, yaitu dalam bentuk hasil-hasil pertanian mereka. ketentuan-ketentuan sistem tanam paksa terdapat dalam Staatblad (lembaran negara) No. 22 tahun 1834. Ketentuan-ketentuan pokoknya antara lain:
1. Orang-orang Indonesia akan menyediakan sebagian dari tanah sawahnya untuk ditanami tanaman yang laku di pasar Eropa seperti kopi, teh, tebu, dan nila. Tanah yang diserahkan itu tidak lebih dari seperlima dari seluruh sawah desa.
2. Bagian tanah yang disediakan sebanyak seperlima luas sawah itu bebas dari pajak.
3. Pekerjaan untuk memelihara tanaman tersebut tidak boleh melebihi lamanya pekerjaan yang diperlukan untuk memelihara sawahnya sendiri.
4. Bagian tanah yang disediakan untuk menanam tanaman dagangan dibebaskan dari pembayaran pajak tanah.
5. Hasil dari tanaman tersebut diserahkan kepada pemerintah Belanda dan ditimbang. Jika harganya ditaksir melebihi harga sewa tanah yang harus dibayar oleh rakyat, maka lebihnya tersebut akan dikembalikan kepada rakyat. Hal ini bertujuan untuk memacu para penanam supaya bertanam dan memajukan tanaman ekspor.
6. Tanaman yang rusak akibat bencana alam, dan bukan akibat kemalasan atau kelalaian rakyat, maka akan ditanggung oleh pihak pemerintah.
7. Pelaksanaan tanam paksa diserahkan kepada pegawai-pegawai pribumi, dan pihak pegawai Eropa hanya sebagai pengawas.
Ketentuan-ketentuan tersebut jika dicermati lebih lanjut nampaknya tidak terlalu membebani rakyat. Namun dalam pelaksanaannya, ternyata sering menyimpang jauh dari ketentuan sehingga merugikan rakyat dan sangat memberatkan beban rakyat. Adapun praktek yang dijalankan sebagai berikut:
1. Bukan 1/5 melainkan seluruh tanah petani untuk ditanam tanaman ekspor.
2. Seluruh tanah dibebankan pajak
3. Jam kerja petani lebih banyak dihabiskan untuk tanaman dan kebun pemerintah.
4. Kelebihan panen tidak dikembalikan dan ditambahkan pajak juga.
5. Gagal panen dan kerusakan ditanggung oleh petani.
6. Waktu wajib kerja diperkebunan melebihi 1/5 per tahun.
7. Bagi pejabat lurah atau bupati akan mendapatkan Cultuur Procenten (bonus) jika daerahnya bisa melebihi kouta ekspor, sehingga menimbulkan kesewenang-wenangan bupati kepada petani karena ingin mendapatkan Cultuur Procenten.
2. Pembabakan Sistem Tanam Paksa
1830-1850: Ekploitasi besar-besaran untuk mendapatkan keuntungan maksimum. Pada masa ini NHM menjadi perusahaan negara yang paling kaya di Eropa dengan kekayaan 848 juta Gulden, dua kali kekayaan VOC dalam satu tahun.
1850-1870: kemunduran yang disebabkan oleh tekanan politik dari dalam Negeri Belanda sendiri. Petani-petani mulai meninggalkan tanah-tanah mereka dan mulai merampok perkebunan-perkebunan pemerintah karena kesengsaraan petani-petani tersebut. Perkembangan revolusi industri dan kapitalisme di Eropa yang menyebabkan cara-cara monopoli harus ditinggalkan.
3. Akibat Sistem Tanam Paksa
1. Akibat Sistem Tanam Paksa Bagi Belanda
Bagi Belanda tanam paksa membawa keuntungan melimpah diantaranya sebagai berikut:
a. Kas Belanda menjadi surplus (berlebihan).
b. Belanda bebas dari kesulitan keuangan.
2. Akibat Sistem Tanam Paksa bagi Indonesia
Akibat adanya penyimpangan-penyimpangan pelaksanaan tanam paksa, maka membawa akibat yang memberatkan rakyat Indonesia yaitu:
a. Banyak tanah yang terbengkalai, sehingga panen gagal
b. Rakyat makin menderita
c. Wabah penyakit merajalela
d. Bahaya kelaparan yang melanda Cirebon memaksa rakyat mengungsi ke daerah lain untuk menyelamatkan diri
e. Kelaparan hebat di Grobogan, sehingga banyak yang mengalami kematian dan menyebabkan jumlah penduduk menurun tajam
Akibat dari kegiatan tanam paksa, rakyat Indonesia menderita kemiskinan yang berkepanjangan, kelaparan dan kematian terjadi di mana-mana. Sementara bagi Belanda merupakan ladang ekonomi yang banyak mendapatkan keuntungan. Kas Belanda yang awalnya kosong dapat dipenuhi kembali, kemudian secara berangsur-angsur utang Belanda dapat dilunasi dan menjadikan Belanda sebagai negara yang tidak mengalami kesulitan keuangan. Itulah akibat dari sebagian kecil penderitaan yang dialami bangsa kita saat dijajah oleh pemerintah Belanda dan yang dilakukan oleh bangsa kita sendiri yang menjadi bupati dan kepala desa karena ingin mendapatkan pujian dari penjajah. mereka senantiasa berlomba-lomba menyerahkan hasil tanaman rakyat sebanyak-banyaknya. Mereka tidak sadar saudara sebangsanya menangis karena kelaparan, meninggal karena tidak makan, anak menjadi yatim piatu karena bapaknya dihukum dan disiksa oleh Belanda. Akhirnya, terbongkar pada 1850 di negeri Belanda tentang penderitaan rakyat di pulau Jawa yang mengalami kelaparan dan kematian akibat adanya sistem tanam paksa.
4. Tokoh-Tokoh Penentang Terhadap Sistem Tanam Paksa
1. Golongan Pendeta
Golongan ini menentang atas dasar kemanusiaan. Adapun tokoh yang mempelopori penentang ini adalah Baron Van Hovel. Ia adalah seorang pendeta. Setelah kembali ke negerinya, ia menjadi anggota parlemen, kemudian ia bersama kelompoknya berupaya memperjuangkan nasib rakyat tanah jajahan. Akhirnya, muncullah kecaman keras supaya pemerintah menghapuskan sistem tanam paksa.
2. Golongan Liberal
a. Douwes Dekker, dengan nama samaran Multatuli yang menentang tanam paksa dengan mengarang buku berjudul Max Havelaar.
b. Frans Van De Pute, dengan mengarang buku berjudul Suiker Constracten (kontrak kerja).
5. Penghapusan Sistem Tanam Paksa
Di Sumatra Barat, sistem tanam paksa di mulai sejak tahun 1847, ketika penduduk yang telah lama menanam kopi secara bebas dipaksa untuk menanam kopi untuk diserahkan kepada pemerintah kolonial. begitu juga di Jawa, pelaksanaan sistem tanam paksa ini dilakukan melalui jaringan birokrasi lokal. Berkat adanya kecaman dari berbagai pihak, akhirnya pemerintah Belanda menghapus tanam paksa secara bertahap:
1. Tahun 1860 tanam paksa lada dihapus
2. Tahun 1865 tanam paksa nila dan teh dihapus
3. Tahun 1870 tanam paksa semua jenis tanaman dihapus kecuali kopi di Pringan
Selain di pulau Jawa, kebijakan yang hampir sama juga dilaksanakan ditempat lain seperti Sumatra Barat, Minahasa, Lampung, dan Palembang. Kopi merupakan tanaman utama di dua tempat pertama. Adapun lada merupakan tanaman utama di dua wilayah yang kedua. Di Minahasa kebijakan yang sama kemudian juga berlaku pada tanaman kelapa. Menghadapi berbagai reaksi yang ada pemerintah Belanda mulai menghapus sistem tanam paksa, namun secara bertahap. Sistem tanam paksa secara resmi dihapuskan pada tahun 1870 berdasarkan UU Landreform (UU Agraria).
Makalah zaman logam di Indonesia
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT. Tuhan Yang Maha Esa. Berkat rahmat dan karunianya kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini yang berjudul “Kebudayaan Zaman Logam Di Indonesia.” tepat pada waktunya. Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah “Sejarah Masyarakat Dan Kebudayaan Indonesia”.
Makalah ini telah disusun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini. Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan pembaca tentang sejarah masyarakat dan kebudayaan Indonesia, khususnya pada masa zaman logam.
Demikian kata pengantar ini, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Dan kami menyadari bahwa makalah ini belum sempurna. Oleh karena itu, kami menerima saran dan kritik yang membangun dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Medan, 24 April 2018
Tim Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ........................................................................................... i
Daftar Pustaka ............................................................................................ ii
BAB I : PENDAHULUAN ........................................................................ 1
A. Latar Belakang ............................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................... 1
C. Tujuan Makalah ............................................................................. 2
BAB II : PEMBAHASAN .......................................................................... 3
A. Budaya Logam Di Indonesia .......................................................... 3
B. Pembagian Dan Hasil Kebudayaan Zaman Logam Di Indonesia ... 5
C. Tahap Awal Logam Di Sumatra, Jawa, Bali, Kepulauan Talaud Dan
Maluku Utara ................................................................................... 8
BAB III : PENUTUP ................................................................................... 12
A. Kesimpulan ...................................................................................... 12
B. Saran ................................................................................................ 12
Daftar Pustaka .............................................................................................. iii
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Zaman prasejarah dapat diketahui berdasarkan hasil penemuan-penemuan alat kebudayaan manusia pendukungnya. Hasil kebudayaan-kebudayaan prasejarah dapat dibedakan menjadi dua menurut bahan atau alat-alat yang digunakan yaitu: zaman batu dan zaman logam. Zaman logam adalah zaman dimana manusia sudah mengenal logam sebagai alat kehidupan sehari-hari. Zaman logam bukan berarti mengakhiri zaman batu, pada zaman logam juga masih menggunakan perkakas batu. Maka sesungguhnya nama zaman logam hanyalah untuk menyatakan bahwa pada saat itu logam telah dikenal dan dipergunakan orang untuk bahan membuat alat-alat yang dipergunakan.
Tahap logam awal dimulai dengan pengenalan artefak dari tembaga, perunggu, dan besi beserta teknologi pembuatannya yang tampaknya terjadi secara bersamaan. Hampir pasti semua unsur budaya baru itu diperoleh langsung dari sumber-sumbernya di daratan Asia tenggara selama beberapa abad terakhir sebelum masehi. Perkembangan zaman logam di Indonesia berbeda dengan di Eropa, karena zaman logam di Eropa mengalami tiga fase, yaitu: zaman tembaga, zaman perunggu, dan zaman besi. Sedangkan di Indonesia khususnya dan asia tenggara umumnya tidak mengalami zaman tembaga tetapi langsung memasuki zaman perunggu dan besi secara bersamaan. Untuk Indonesia, yang menerima kebudayaan logamnya dari daratan Asia.
Artefak-artefak besi dan perunggu yang ditemukan di Indonesia banyak dihubungkan dengan kebudayaan Dongson, di Vietnam Utara. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai zaman logam tersebut, kami akan membahas zaman logam tersebut mulai dari awal zaman logam sampai pada hasil-hasil kebudayaan pada zaman logam tersebut.
2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kehidupan budaya logam di Indonesia?
2. Bagaimana fase atau pembagian zaman logam di Indonesia?
3. Bagaimana tahap awal logam yang ada di Sumatera, Jawa, Bali, Maluku dan sulawesi?
3. Tujuan Makalah
1. Untuk mengetahui kehidupan budaya logam di Indonesia
2. Untuk mengetahui perkembangan atau pembagian-pembagian zaman logam berserta hasilnya di Indonesia
3. Untuk mengetahui tahap awal logam di Sumatera, Jawa, Bali, Maluku, dan Sulawesi
BAB II
PEMBAHASAN
A. Budaya Logam Di Indonesia
Penemuan logam yang digunakan untuk mengganti artefak batu merupakan suatu kemajuan yang luar biasa sejarah peradapan manusia. Pencapaian tersebut tidak lepas dari kemampuan manusia untuk memanfaatkan api dan piroteknologi. Dalam sejarah perkembangan teknologi logam, tembaga alam (native cover) adalah jenis logam pertama yang ditemukan manusia. Manusia hanya mengenal jenis logam tunggal (monometalik) untuk pembuatan artefak. Bukti-bukti tertua temuan artefak besi dan perunggu di Indonesia terjadi dalam kurun waktu yang bersamaan yaitu sekitar 500 SM. Sebagian artefak perunggu ditemukan di Indonesia dari masa logam awal mungkin merupakan benda upacara antara lain berupa kapak dengan berbagai bentuk hiasan serta nekara perunggu. Kebudayaan logam di Indonesia sering dihubungkan dengan kebudayaan Dongson di Vietnam Utara.
Secara umum artepak logam yang merupakan produk kebudayaan dongson dapat dibedakan menjadi beberapa kategori yaitu alat alat musik, perhiasan, peralatan (tools) dan senjata. Artefak logam tersebut berupa nekara, sejenis lonceng (bells), tempat berludah (spitton), mangkok, gelang, pelindung lengan dan dada, ikat pinggang, cincin, mata pancing, kapak corong, mata panah, sejenis sabit yang tangkainya berlubang, kapak bahu, mata tombak, pisau kecil, pedang, dan pisau belati yang tangkainya berhiaskan tubuh manusia (anthropomorphic). Kebudayaan Dongson yang merupakan puncak dari perkembangan teknologi logam di vietnam utara sesungguhnya didahului oleh beberapa fase budaya yakni Phung Nguyen, Dong Dao, dan Go Mun.
Nekara perunggu merupakan salah satu produk kebudayaan Dongson yang diduga didatangkan di Indonesia setelah 200 SM. Persebaran nekara Dongson atau yang lebih dikenal dengan nekara tipe Heger I meliputi pulau-pulau di daerah paparan Sunda yaitu Sumatera, Jawa, bahkan sampai ke Nusa Tenggara dan pulau Kei di dekat Papua. Sampai saat ini di Kalimantan telah dilaporkan sebuah temuan nekara perunggu, tetapi belum ditemukan di Sulawesi dan Filifina. Sebaran Nekara Dongson tipe Heger I tersebut mungkin terjadi pada daerah-daerah yang merupakan jalur perdagangan yang menghubungkan Indonesia bagian barat dan timur. Sebaran nekara Dongson tipe Heger I di kepulauan Indonesia mungkin terkait dengan perdagangan rempah-rempah akibat meningkatnya kebutuhan terhadap komoditas tersebut, antara daerah Asia tenggara daratan terutama Vietnam dan daerah-daerah di Asia Tenggara kepulauan. Selain artefak, bahan baku logam mungkin juga diperdagangkan dari Asia Tenggara daratan ke daerah-daerah di Asia Tenggara kepulauan.
Kehadiran artefak perunggu yang merupakan produk kebudayaan Dongson sekitar abad II SM di Indonesia diduga berfungsi sebagai simbol status bagi para elite pada masa itu. Artefak perunggu seperti kapak sering ditemukan sebagai benda bekal kubur dalam sarkofagus maupun kuburan tanpa wadah. Perlu diketahui bahwa kubur sekunder dengan nekara telah ditemukan disitus Plawangan (Jawa Tengah), dan Manikliu (Bali). Kebutuhan akan barang-barang perunggu tampaknya semakin meningkat seiring dengan kompleknya tatanan masyarakat pada waktu itu. Bukti-bukti adanya pengerjaan artefak logam di beberapa situs di Indonesia seperti di Manuaba, Gianyar, Bali, yang tidak memiliki bahan baku logam mengindifikasikan adanya perdagangan antarpulau (perdagangan jarak jauh) pada masa prasejarah. Tembaga sebagai salah satu unsur bahan baku artefak perunggu terdapat di beberapa pulau kepulauan Indonesia antara lain: Sumatera, Jawa, Timor, Sulawesi dan Papua. Keberadaan timah lebih langka, namun timah ditambang di Bangka, Belitung, Singkep, Riau, dan daerah sekitarnya. Perlu dicatat bahwa di Indonesia belum pernah ditemukan situs penambangan logam dari masa prasejarah.
Penemuan artefak besi dalam situs arkeologi di Indonesia sering kali bersamaan dengan artefak perunggu, dan jumlahnya agak terbatas. Artefak besi biasanya ditemukan sebagai bekal kubur, seperti dalam kubur batu di Wonosari (DI Yogyakarta), Besuki dan Punung (Jawa Timur), dan jenis kubur lainnya pada masa perundagian. Jenis artefak besi yang lazim ditemukan dalam situs arkeologi di Indonesia dapat digolongkan sebagai alat keperluan sehari-hari, perhiasan, dan senjata, antara lain berupa beliung, sabit, tajak, alat untuk menyiangi rumput, alat bermata panjang dan gepeng, gelang, tombak dan tongkat. Artefak logam di Indonesia pada umumnya ditemukan dalam konteks bekal kubur. Bekal kubur sering digunakan sebagai indikator untuk menentukan status sosial seseorang yang dikubur. Demikian halnya dengan artefak logam yang bahan bakunya langka atau didatangkan dari tempat lain yang jauh, dan mungkin memiliki nilai sosial yang tinggi bagi pemilik dan pemakainya. Dengan kata lain, benda bekal kubur digunakan sebagai simbol yang mengacu kepada peranan dan status sosial orang yang meninggal. Kebudayaan Dongson tampaknya memberikan stimulan terhadap pengembangan teknologi logam, khususnya perunggu, di kepulauan Nusantara. Namun demikian, kearifan-kearifan budaya lokal juga ter refleksi pada bentuk atau wujud artefak perunggu di Indonesia yang tidak sepenuhnya sama dengan kebudayaan Dongson.
B. Pembagian Dan Hasil Kebudayaan Zaman Logam di Indonesia
Zaman logam terdiri atas tiga zaman yaitu zaman tembaga, perunggu, dan besi. Tetapi berdasarkan teori di Asia Tenggara tidak mengenal zaman tembaga. Oleh karena itu di Indonesia hanya ada zaman perunggu dan besi pada zaman logam. Meskipun begitu, kami akan membahas sedikit tentang zaman tembaga.
1. Zaman Tembaga
Zaman tembaga merupakan zaman yang menjadi awal manusia mengenai logam dimana pada zaman ini manusia menggunakan tembaga sebagai bahan dasar untuk membuat peralatan. Para ahli mengatakan bahwa Indonesia tidak terpengaruh dengan zaman tembaga serta tidak pula mengalaminya karena hingga saat ini, belum ada ditemukan peninggalan-peninggalan sejarah dari zaman tembaga di Indonesia. hanya negara-negara diluar Asia Tenggara saja yang terpengaruh dengan zaman ini.
2. Zaman Perunggu
Zaman perunggu merupakan zaman dimana manusia membuat peralatan dari perunggu. Di Indonesia sendiri, ditemukan peninggalan – peninggalan sejarah dari zaman perunggu yaitu :
• Kapak Corong
Adapun di Negeri kita kapak logam yang di temukan adalah kapak perunggu yang sudah mempunyai bentuk tersendiri. Kapak ini biasa di namakan kapak sepatu maksudnya ialah kapak yang bagian atasnya berbentuk corong yang sembirnya belah, sedangkan kedalam corong itulah dimasukkan tangkai kayu nya yang menyiku kepada bidang kapak. Kapak corong ini yang terutama ditemukan di sumatera selatan, jawa, bali, sulawesi tengah dan selatan, pulau selayar dan di iriah dekat danau sentani yang banyak jenisnya. Ada yang kecil dan bersahaja, ada yang besar dan memakai hiasan ada yang pendek lebar. Yang panjang satu sisi ini disebut candralsa. Pada sebuah candrasa yang ditemukan didaerah yogjakarta terdapat didekat tangkainya suatu lukisan yang sangat menarik perhatian, ialah seekor burung terbang memegang sebuah candralsa yang tangkainya sangat pendek.
Adapun cara pembuatan kapak-kapak corong itu, banyak tanda-tanda yang menunjukkan tehnik A cire perdue. Didekat bandung ditemukan cetakan-cetakan dari tana bakar untuk menuangkan kapak corong. Penyelidikan mengatakan bahwa yang dicetak adalah bukan logamnya, melainkan tentunya kapak yang dibuat dari lili, ialah yang menjadi model dari kapak logamnya.
• Nekara
adalah semacam berumbung dari perunggu yang berpinggang di bagian tengahnya dan sisi atas nya tertutup. Diantara necara-necara yang ditemukan dinegeri kita hanya beberapa sajalah yang utuh. Bahkan yang banyak berupa pecah-pecahan belaka. Didapatkannya antara lain di sumatera, jawa, bali, pulau sangean dekat sumbawa, roti, leti, selayar dan dikepulauan kei.
• Benda-benda lainnya
penemuan-penemuan lainnya di zaman perunggu yang di dapat adalah berupa barang-barang perhiasan seperti gelang, binggel ( gelang kaki), anting-anting, kalung dan cincin. Umumnya barang-barang perhiasan itu tidak diberi hiasan ukiran sedikit pun. Dari daerah tepi danau Kerinci dan dari Pulau Madura ditemukan bejana perunggu yang bentuknya seperti periuk tetapi langsing dan gepeng. Yang dari Sumatera bagian atasnya telah hilang, sedangkan yang dari Madura hanya cacat sedikit. Selain benda-benda perunggu, adalagi benda-benda bukan perunggu tetapi ditemukan dari zaman perunggu seperti manik-manik dari kaca ( terdapat terutama dari kuburan-kuburan) yang jumlahnya sangat besar sehingga memberi corak istimewa pada zaman perunggu itu.
• Kebudayaan dongson
Kebudayaan perunggu Asia Tenggara biasanya disebut kebudayaan dongson. Menurut nama tempat penyelidikan pertama di daerah tonkin. Penyelidikan menunjukkan bahwa disanalah pusat kebudayaan perunggu Asia Tenggara. Disana ditemukan segala macam alat-alat perunggu dan nekara, alat-alat dari besi dan kuburan-kuburan zaman itu. Pun bejana yang serupa dengan yang ditemukan di Kerinci dan Madura.
• Candrasa
Candrasa merupakan sejenis kapak yang menyerupai senjata tapi tidak cocok sebagai peralatan perang / pertanian karena tidak kuat dan kokoh. Candrasa ditemukan di Bandung dan diperkirakan digunakan untuk keperluan upacara.
• Teknik Bivalve
Teknik bivalve disebut sebagai teknik setangkup dimana untuk membuat perunggu dilakukan dengan cara menangkupkan dua bagian batu kemudian diisi cairan logam. Berikut langkah – langkahnya :
1. Cetakan terdiri dari dua bagian dan umumnya terbuat dari batu.
2. Cetakan diikat dan perunggu cair dituangkan ke dalam rongga cetakan.
3. Tunggu hingga cetakan dingin dan membeku.
4. Kemudian, cetakan dilepas dan terbentuklah hasil cetakannya.
• Teknik A Cire Perdue
Teknik A Cire Perdue disebut juga sebagai teknik cetak lilin dimana bahan dasarnya berupa tanah liat dan lilin sebagai bahannya. Berikut langkah – langkahnya :
1. Buatlah model benda yang diinginkan dari lilin atau sejenisnya.
2. Benda yang dicetak tersebut kemudian dibungkus dengan tanah liat yang diberi lubang.
3. Lalu, dibakar maka lilin pun meleleh.
4. Selanjutnya, rongga bekas lilin tersebut, diisi dengan cairan perunggu.
5. Setelah perunggu menjadi dingin dan membeku maka tanah liatnya dibuang sehingga menghasilkan barang yang dicetak.
3. Zaman Besi
Zaman besi merupakan zaman dimana manusia telah mampu membuat peralatan dari besi yang lebih sempurna daripada tembaga ataupun perunggu. Dengan cara, meleburkan besi dari bijihnya lalu menuangkan cairan besi tersebut ke dalam cetakan. Adapun hasil peninggalan dari zaman besi yang sudah ditemukan di Indonesia antara lain mata kapak, mata sabit, mata pisau, mata pedang, cangkul, dan sebagainya. Mata kapang digunakan untuk membelah kayu sedangkan mata sabit digunakan untuk menyabit tumbuh – tumbuhan. Di Indonesia, benda – benda tersebut telah ditemukan di Gunung Kidul (Yogyakarta), Bogor, Besuki dan Punung (Jawa Timur).
C. Tahap Awal Logam Di Sumatera, Jawa, Bali, Kepulauan Talaud Dan Maluku Utara
1. Sumatera
Salah satu pusat temuan bangunan-bangunan batu prasejarah yang penting di Indonesia terdapat di daratan Pasemah yang memanjang 70 KM disekitar Pagaralam, Sumatra bagian Selatan (Hoop 1932; Heekeren 1958: 63-79). Beberapa kubur peti batu yang digali oleh Hoop (1932) di Tegurwangi berisi sejumlah besar manik-manik kaca dan beberapa benda logam, antara lain spiral tembaga atau perunggu, sebuah peniti emas, dan tombak besi yang sudah rusak. Semua tidak dapat ditarikhkan secara tepat. Satu dari beberapa di Tegurwangi dan berbagai kubur ruangan megalit di Tanjungara (Bie 1932) dan Kotaraya Lembak (Soejono 1991) pada waktu ditemukan masih menyimpan jejak-jejak lukisan dinding dalam beberapa warna yang memperlihatkan bentuk manusia dan kerbau. Salah satu kubur ruangan yang baru ditemukan di Kotaraya Lembak berisi lukisan seeokor ayam dalam sikap berkelahi yang dilukis dengan empat warna (Caldwell 1996).
Petunjuk yang paling penting untuk menarikhkan pahatan-pahatan ini adalah bentuk nekara tipe Heger I yang dipahatkan pada relief Batugajah dan Airpurah, dilukis juga pada dinding ruang kubur Kotaraya Lembak (Soejono 1991:19) dan mungkin juga diperlihatkan pada ukiran pada batuan alami yang terbuka dekat Tegurwangi (Caldwell 1996). Bukti-bukti ini dapat menyarankan tarikh awal atau pertengahan milenium pertama masehi, meskipun mungkin ada yang bertumpang tindih kurun waktunya dengan masa kerajaan dagang Sriwijaya di daratan timur sekitar Palembang (yaitu sesudah tahun 670M).
2. Jawa
Di Jawa, banyak situs menghasilkan himpunan tinggalan dari tahap logam awal, terutama dalam hubungannya dengan kubur peti batu atau sarkopagus yang diukir secara lebih rumit yang terdapat mulai dari Jawa timur melalui Bali sampai Sumbawa dan Sumba (Soejono 1969, 1982b; Glover 1979). Pada sejumlah tempat di Jawa bagian barat juga terdapat kompleks bagunan batu yang berteras-teras dan juga panggung batu yang tampaknya termasuk dalam tradisi arsitektur pra-Hindu. Selain penelitian mengenai kubur batu dan bangunan megalitik lain, yang senantiasa menarik perhatian arkeologi di bagian barat Indonesia, terdapat sejumlah penggalian di situs lain yang termasuk dalam tahap logam awal di Jawa. Di salah satu situs lain di Jawa bagian utara yang disebut Kradenanrejo dekat Lamongan, Sisa jenazah seorang anak ditempatkan di dalam nekara tipe pejeng, dengan nekara tipe Heger I di atasnya sebagai penutup, bersama manik-manik berfaset dari carnelian, kaca dan emas, satu wadah perunggu dengan hiasan lingkaran dan paduan lengkung-garis yang khas Dongson, hiasan emas berbentuk payung, dua cangkir perunggu dan berbagai benda besi serta perunggu lainnya (Bintarti 1985a).
Situs-situs Jawa lainnya yang menghasilkan himpunan temuan tahap logam awal yang penting, termasuk satu situs di Leuwiliang dekat Bogor dan satu situs di Pejaten sebelah selatan Jakarta. Situs di Leuwiliang menghasilkan serangkaian bekal kubur yang tersusun dalam penguburan tanpa wadah yang sudah hancur, termasuk satu anting-anting perunggu antropomorfis (Soejono 1984) dan topeng dari logam mulia yang belum dapat diidentifikasikan (PPAN 1988). Dari situs di Pejaten (Sutayasa 1979) ditemukan cetakan dari tanah liat bakar untuk membuat beliung perunggu dan pisau. Cetakan ini tampaknya bertarikh radiokarbon sebelum tahun 200 M. Tidak satu pun dari situs-situs ini yang dapat ditemukan secara tegas dan jelas dalam rekonstruksi prasejarah Jawa dan yang paling mendesak untuk dilakukan sekarang adalah menerbitkan catatan hasil penelitian yang lebih lengkap dan lebih banyak tarikh radiokarbon yang diperolehkan dengan baik.
3. Bali
Bali terkenal karena temuan sarkopagusnya yang sangat khas, yang dibuat dari batu tufa atau bereksi yang lunak. Sarkopagus-sarkopagus ini terutama ditemukan di situs-situs pedalaman dibagian tengah dan selatan pulau ini (Heekeren 1955). Sarkopagus Bali mempunyai badan dan tutup yang terpisah, dan tutupnya sendiri bentuknya tinggi melengkung. Umumnya sarkopagus ini mempunyai tonjolan-tonjolan seperti tombol pada ujungnya, yang kadang-kadang diukir berbentuk kepala manusia atau kepala kura-kura. Berbagai ukuran sarkopagus dibuat untuk menyimpan jenasah yang dimasukkan dalam posisi terlipat atau telentang. Bekal kubur yang disertakan mencakup manik-manik kaca dan carnelian, beberapa benda besi yang tidak jelas bentuknya, perhiasan bagus dan selubung tangan yang dibuat dari kumparan kawat perunggu, serta alat perunggu bercorong dengan bentuk sabit dan bentuk hati, yang terakhir dapat disejajarkan dengan temuan di Thailand dari pertengahan milenium pertama SM. Di Gilimanuk, Bali bagian barat, dua di antara sarkopagus yang ditemukan, yang satu dengan tutup berbentuk mirip kerbau dan yang lain dihiasi motif mirip genitalia wanita yang digayakan, telah digali dari konteknya yang ditarikhkan sekitar 1.500 sampai 2.000 tahun lalu.
Gilimanuk adalah situs kubur penting di pantai utara Bali. Situs ini mengandung banyak sisa penguburan manusia dalam posisi telentang tanpa wadah maupun penguburan dalam tempayan dengan bekal kubur berupa tembikar dan benda-benda perunggu seperti yang terdapap di sarkopagus. Bekal kubur lain di situs Gilimanuk diantaranya adalah satu ujung tombak besi yang bertangkai, pisau belati besi bergagang perunggu, serta manik-manik dari emas, kaca dan carnelian. Situs Gilimanuk dan satu sarkopagus di Pangkungliplip menghasilkan penutup mata dan mulut dari emas.
4. Kepulauan Talaud Dan Maluku Utara
Situs penguburan dalam tempayan yang akan dibicarakan pertama kali adalah gua kecil Leang Buidane di Pulau Salebabu dalam kelompok Talaud disebelah timur laut Indonesia. Bejana-bejana penyerta dan benda-benda lain yang ditemukan bersama sisa-sisa penguburan dalam tempayan menunjukkan suatu ciri gaya yang hampir seragam, dan menyiratkan budaya Buidane sebagai budaya yang tampaknya berkembang di seluruh Talaud selama milenium pertama masehi. Periuk-periuk kecil yang ditemukan mencakup wadah berlekuk bahu dan beralas bundar dengan hiasan berupa bidang-bidang datar yang berisi goresan yang cukup rumit, gelas berleher tinggi yang khas dengan poles warna merah yang digosok, dan berbagai bejana untuk memasak. Bejana-bejana yng berlekuk bahu khususnya mempunyai tepian yang berpenampang menyiku, yang juga khas untuk temuan tembikar tahap ini di sabah.
Artefak-artefak lain yang ditemukan di Leang Buidane mencakup gelang dan manik-manik kerang, patahan gelang kaca, manik-manik dari batu agate dan carnelian, penutup kendi dari batu karang, dan satu anting-anting tembikar berbentuk cincin. Manik-manik batu yang ditemukan amat menarik. Kebanyakan adalah manik-manik carnelian merah berfaset dengan bentuk bulat atau memanjang, dengan ketepatan pengeboran yang menunjukkan asalnya dari India , meskipun bentuk-bentunya secara kronologis cocok dan dapat dimasukkan dalam jenis yang umum terdapat di India dan Asia Tenggara selama 2.000 tahun yang lalu. Leang Buidane juga menghasilkan artefak-artefak logam, antara lain sejumlah pecahan dari benda besi yang tidak jelas bentuknya, dan benda-benda dari tembaga atau perunggu yang terdiri atas patahan-patahan gelang, satu kerucut perunggu, dan satu kapak corong dari tembaga. Tiga belahan cetakan setangkup dari tanah liat bakaryang dipakai untuk mencetak kapak dan benda-benda tembaga lainnya juga ditemukan. Temuan-temuan itu menunjukkan bahwa pencetakan logam dilakukan di tempat itu, meskipun mungkin terbatas pada daur ulang artefak-artefak yang aslinya diimpor. Pada umumnya, metalurgi Buidane cocok dalam rentang waktu perkembangan metalurgi yang dilaporkan dari Sabah dan Filifina, dan pembuatan tembaga dan perunggu tampaknya terbatas pada teknik cetakan setangkup, tanpa pemakain lilin.
Di Maluku Utara, sisa-sisa penguburan dalam tempayan berhasil digali dari Gua Uattamdi di pulau Kayoa bersama-sama dengan manik-manik kaca, pecahan besi dan perunggu, mata uang Cina tak bertarikh, dan cangkang kerang besar yang tampaknya disertakan sebagai bekal kubur. Tarikh untuk himpunan ini berkisar dari sekitar tahun 1 sampai 1200 M. Kawasan-kawasan lain di Maluku Utara juga menghasilkan tembikar yang digores dengan ciri-ciri tembikar tahap logam awal dan bertarikh radiokarbon milenium pertama SM, yang ditemukan bersama dengan kuburan sekunder, terutama tengkoraknya, di ceruk peneduh Tanjung Pinang di Morotai serta dalam lapisan hunian di Gua Siti Nafisah di Halmahera, dan situs terbuka Buwawansi di Gebe.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Harioyono, T. Logam dan Peradaban Manusia. Yogyakarta: Philoshophy Press, 2001
Bellwoord, Peter. Prehistory of the Indo-Malayan Archipelago. Sydney: Academic Press, 1985
Van Bemmelen, R.W. The Geology of Indonesia. General Geology of Indonesia and Adjacent Archipelago. Vol. I A. The Hague: Martinus Nijhoff, 1949.
Soejono, R.P, dkk., eds. Sejarah Nasional Indonesia. I. Jakarta: Balai Pustaka, 1984.
Renfrew, C., and P. Bahn. Archaeology Theories, Methods and Practice. London: Thames and Hudson, 1991.
Tanudirjo, Daud Aris, dkk., Indonesia Dalam Arus Sejarah Prasejarah. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2012.
Soekmono, R. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia I. Yogyakarta: Kanisius, 2010.
Puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT. Tuhan Yang Maha Esa. Berkat rahmat dan karunianya kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini yang berjudul “Kebudayaan Zaman Logam Di Indonesia.” tepat pada waktunya. Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah “Sejarah Masyarakat Dan Kebudayaan Indonesia”.
Makalah ini telah disusun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini. Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan pembaca tentang sejarah masyarakat dan kebudayaan Indonesia, khususnya pada masa zaman logam.
Demikian kata pengantar ini, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Dan kami menyadari bahwa makalah ini belum sempurna. Oleh karena itu, kami menerima saran dan kritik yang membangun dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Medan, 24 April 2018
Tim Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ........................................................................................... i
Daftar Pustaka ............................................................................................ ii
BAB I : PENDAHULUAN ........................................................................ 1
A. Latar Belakang ............................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................... 1
C. Tujuan Makalah ............................................................................. 2
BAB II : PEMBAHASAN .......................................................................... 3
A. Budaya Logam Di Indonesia .......................................................... 3
B. Pembagian Dan Hasil Kebudayaan Zaman Logam Di Indonesia ... 5
C. Tahap Awal Logam Di Sumatra, Jawa, Bali, Kepulauan Talaud Dan
Maluku Utara ................................................................................... 8
BAB III : PENUTUP ................................................................................... 12
A. Kesimpulan ...................................................................................... 12
B. Saran ................................................................................................ 12
Daftar Pustaka .............................................................................................. iii
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Zaman prasejarah dapat diketahui berdasarkan hasil penemuan-penemuan alat kebudayaan manusia pendukungnya. Hasil kebudayaan-kebudayaan prasejarah dapat dibedakan menjadi dua menurut bahan atau alat-alat yang digunakan yaitu: zaman batu dan zaman logam. Zaman logam adalah zaman dimana manusia sudah mengenal logam sebagai alat kehidupan sehari-hari. Zaman logam bukan berarti mengakhiri zaman batu, pada zaman logam juga masih menggunakan perkakas batu. Maka sesungguhnya nama zaman logam hanyalah untuk menyatakan bahwa pada saat itu logam telah dikenal dan dipergunakan orang untuk bahan membuat alat-alat yang dipergunakan.
Tahap logam awal dimulai dengan pengenalan artefak dari tembaga, perunggu, dan besi beserta teknologi pembuatannya yang tampaknya terjadi secara bersamaan. Hampir pasti semua unsur budaya baru itu diperoleh langsung dari sumber-sumbernya di daratan Asia tenggara selama beberapa abad terakhir sebelum masehi. Perkembangan zaman logam di Indonesia berbeda dengan di Eropa, karena zaman logam di Eropa mengalami tiga fase, yaitu: zaman tembaga, zaman perunggu, dan zaman besi. Sedangkan di Indonesia khususnya dan asia tenggara umumnya tidak mengalami zaman tembaga tetapi langsung memasuki zaman perunggu dan besi secara bersamaan. Untuk Indonesia, yang menerima kebudayaan logamnya dari daratan Asia.
Artefak-artefak besi dan perunggu yang ditemukan di Indonesia banyak dihubungkan dengan kebudayaan Dongson, di Vietnam Utara. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai zaman logam tersebut, kami akan membahas zaman logam tersebut mulai dari awal zaman logam sampai pada hasil-hasil kebudayaan pada zaman logam tersebut.
2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kehidupan budaya logam di Indonesia?
2. Bagaimana fase atau pembagian zaman logam di Indonesia?
3. Bagaimana tahap awal logam yang ada di Sumatera, Jawa, Bali, Maluku dan sulawesi?
3. Tujuan Makalah
1. Untuk mengetahui kehidupan budaya logam di Indonesia
2. Untuk mengetahui perkembangan atau pembagian-pembagian zaman logam berserta hasilnya di Indonesia
3. Untuk mengetahui tahap awal logam di Sumatera, Jawa, Bali, Maluku, dan Sulawesi
BAB II
PEMBAHASAN
A. Budaya Logam Di Indonesia
Penemuan logam yang digunakan untuk mengganti artefak batu merupakan suatu kemajuan yang luar biasa sejarah peradapan manusia. Pencapaian tersebut tidak lepas dari kemampuan manusia untuk memanfaatkan api dan piroteknologi. Dalam sejarah perkembangan teknologi logam, tembaga alam (native cover) adalah jenis logam pertama yang ditemukan manusia. Manusia hanya mengenal jenis logam tunggal (monometalik) untuk pembuatan artefak. Bukti-bukti tertua temuan artefak besi dan perunggu di Indonesia terjadi dalam kurun waktu yang bersamaan yaitu sekitar 500 SM. Sebagian artefak perunggu ditemukan di Indonesia dari masa logam awal mungkin merupakan benda upacara antara lain berupa kapak dengan berbagai bentuk hiasan serta nekara perunggu. Kebudayaan logam di Indonesia sering dihubungkan dengan kebudayaan Dongson di Vietnam Utara.
Secara umum artepak logam yang merupakan produk kebudayaan dongson dapat dibedakan menjadi beberapa kategori yaitu alat alat musik, perhiasan, peralatan (tools) dan senjata. Artefak logam tersebut berupa nekara, sejenis lonceng (bells), tempat berludah (spitton), mangkok, gelang, pelindung lengan dan dada, ikat pinggang, cincin, mata pancing, kapak corong, mata panah, sejenis sabit yang tangkainya berlubang, kapak bahu, mata tombak, pisau kecil, pedang, dan pisau belati yang tangkainya berhiaskan tubuh manusia (anthropomorphic). Kebudayaan Dongson yang merupakan puncak dari perkembangan teknologi logam di vietnam utara sesungguhnya didahului oleh beberapa fase budaya yakni Phung Nguyen, Dong Dao, dan Go Mun.
Nekara perunggu merupakan salah satu produk kebudayaan Dongson yang diduga didatangkan di Indonesia setelah 200 SM. Persebaran nekara Dongson atau yang lebih dikenal dengan nekara tipe Heger I meliputi pulau-pulau di daerah paparan Sunda yaitu Sumatera, Jawa, bahkan sampai ke Nusa Tenggara dan pulau Kei di dekat Papua. Sampai saat ini di Kalimantan telah dilaporkan sebuah temuan nekara perunggu, tetapi belum ditemukan di Sulawesi dan Filifina. Sebaran Nekara Dongson tipe Heger I tersebut mungkin terjadi pada daerah-daerah yang merupakan jalur perdagangan yang menghubungkan Indonesia bagian barat dan timur. Sebaran nekara Dongson tipe Heger I di kepulauan Indonesia mungkin terkait dengan perdagangan rempah-rempah akibat meningkatnya kebutuhan terhadap komoditas tersebut, antara daerah Asia tenggara daratan terutama Vietnam dan daerah-daerah di Asia Tenggara kepulauan. Selain artefak, bahan baku logam mungkin juga diperdagangkan dari Asia Tenggara daratan ke daerah-daerah di Asia Tenggara kepulauan.
Kehadiran artefak perunggu yang merupakan produk kebudayaan Dongson sekitar abad II SM di Indonesia diduga berfungsi sebagai simbol status bagi para elite pada masa itu. Artefak perunggu seperti kapak sering ditemukan sebagai benda bekal kubur dalam sarkofagus maupun kuburan tanpa wadah. Perlu diketahui bahwa kubur sekunder dengan nekara telah ditemukan disitus Plawangan (Jawa Tengah), dan Manikliu (Bali). Kebutuhan akan barang-barang perunggu tampaknya semakin meningkat seiring dengan kompleknya tatanan masyarakat pada waktu itu. Bukti-bukti adanya pengerjaan artefak logam di beberapa situs di Indonesia seperti di Manuaba, Gianyar, Bali, yang tidak memiliki bahan baku logam mengindifikasikan adanya perdagangan antarpulau (perdagangan jarak jauh) pada masa prasejarah. Tembaga sebagai salah satu unsur bahan baku artefak perunggu terdapat di beberapa pulau kepulauan Indonesia antara lain: Sumatera, Jawa, Timor, Sulawesi dan Papua. Keberadaan timah lebih langka, namun timah ditambang di Bangka, Belitung, Singkep, Riau, dan daerah sekitarnya. Perlu dicatat bahwa di Indonesia belum pernah ditemukan situs penambangan logam dari masa prasejarah.
Penemuan artefak besi dalam situs arkeologi di Indonesia sering kali bersamaan dengan artefak perunggu, dan jumlahnya agak terbatas. Artefak besi biasanya ditemukan sebagai bekal kubur, seperti dalam kubur batu di Wonosari (DI Yogyakarta), Besuki dan Punung (Jawa Timur), dan jenis kubur lainnya pada masa perundagian. Jenis artefak besi yang lazim ditemukan dalam situs arkeologi di Indonesia dapat digolongkan sebagai alat keperluan sehari-hari, perhiasan, dan senjata, antara lain berupa beliung, sabit, tajak, alat untuk menyiangi rumput, alat bermata panjang dan gepeng, gelang, tombak dan tongkat. Artefak logam di Indonesia pada umumnya ditemukan dalam konteks bekal kubur. Bekal kubur sering digunakan sebagai indikator untuk menentukan status sosial seseorang yang dikubur. Demikian halnya dengan artefak logam yang bahan bakunya langka atau didatangkan dari tempat lain yang jauh, dan mungkin memiliki nilai sosial yang tinggi bagi pemilik dan pemakainya. Dengan kata lain, benda bekal kubur digunakan sebagai simbol yang mengacu kepada peranan dan status sosial orang yang meninggal. Kebudayaan Dongson tampaknya memberikan stimulan terhadap pengembangan teknologi logam, khususnya perunggu, di kepulauan Nusantara. Namun demikian, kearifan-kearifan budaya lokal juga ter refleksi pada bentuk atau wujud artefak perunggu di Indonesia yang tidak sepenuhnya sama dengan kebudayaan Dongson.
B. Pembagian Dan Hasil Kebudayaan Zaman Logam di Indonesia
Zaman logam terdiri atas tiga zaman yaitu zaman tembaga, perunggu, dan besi. Tetapi berdasarkan teori di Asia Tenggara tidak mengenal zaman tembaga. Oleh karena itu di Indonesia hanya ada zaman perunggu dan besi pada zaman logam. Meskipun begitu, kami akan membahas sedikit tentang zaman tembaga.
1. Zaman Tembaga
Zaman tembaga merupakan zaman yang menjadi awal manusia mengenai logam dimana pada zaman ini manusia menggunakan tembaga sebagai bahan dasar untuk membuat peralatan. Para ahli mengatakan bahwa Indonesia tidak terpengaruh dengan zaman tembaga serta tidak pula mengalaminya karena hingga saat ini, belum ada ditemukan peninggalan-peninggalan sejarah dari zaman tembaga di Indonesia. hanya negara-negara diluar Asia Tenggara saja yang terpengaruh dengan zaman ini.
2. Zaman Perunggu
Zaman perunggu merupakan zaman dimana manusia membuat peralatan dari perunggu. Di Indonesia sendiri, ditemukan peninggalan – peninggalan sejarah dari zaman perunggu yaitu :
• Kapak Corong
Adapun di Negeri kita kapak logam yang di temukan adalah kapak perunggu yang sudah mempunyai bentuk tersendiri. Kapak ini biasa di namakan kapak sepatu maksudnya ialah kapak yang bagian atasnya berbentuk corong yang sembirnya belah, sedangkan kedalam corong itulah dimasukkan tangkai kayu nya yang menyiku kepada bidang kapak. Kapak corong ini yang terutama ditemukan di sumatera selatan, jawa, bali, sulawesi tengah dan selatan, pulau selayar dan di iriah dekat danau sentani yang banyak jenisnya. Ada yang kecil dan bersahaja, ada yang besar dan memakai hiasan ada yang pendek lebar. Yang panjang satu sisi ini disebut candralsa. Pada sebuah candrasa yang ditemukan didaerah yogjakarta terdapat didekat tangkainya suatu lukisan yang sangat menarik perhatian, ialah seekor burung terbang memegang sebuah candralsa yang tangkainya sangat pendek.
Adapun cara pembuatan kapak-kapak corong itu, banyak tanda-tanda yang menunjukkan tehnik A cire perdue. Didekat bandung ditemukan cetakan-cetakan dari tana bakar untuk menuangkan kapak corong. Penyelidikan mengatakan bahwa yang dicetak adalah bukan logamnya, melainkan tentunya kapak yang dibuat dari lili, ialah yang menjadi model dari kapak logamnya.
• Nekara
adalah semacam berumbung dari perunggu yang berpinggang di bagian tengahnya dan sisi atas nya tertutup. Diantara necara-necara yang ditemukan dinegeri kita hanya beberapa sajalah yang utuh. Bahkan yang banyak berupa pecah-pecahan belaka. Didapatkannya antara lain di sumatera, jawa, bali, pulau sangean dekat sumbawa, roti, leti, selayar dan dikepulauan kei.
• Benda-benda lainnya
penemuan-penemuan lainnya di zaman perunggu yang di dapat adalah berupa barang-barang perhiasan seperti gelang, binggel ( gelang kaki), anting-anting, kalung dan cincin. Umumnya barang-barang perhiasan itu tidak diberi hiasan ukiran sedikit pun. Dari daerah tepi danau Kerinci dan dari Pulau Madura ditemukan bejana perunggu yang bentuknya seperti periuk tetapi langsing dan gepeng. Yang dari Sumatera bagian atasnya telah hilang, sedangkan yang dari Madura hanya cacat sedikit. Selain benda-benda perunggu, adalagi benda-benda bukan perunggu tetapi ditemukan dari zaman perunggu seperti manik-manik dari kaca ( terdapat terutama dari kuburan-kuburan) yang jumlahnya sangat besar sehingga memberi corak istimewa pada zaman perunggu itu.
• Kebudayaan dongson
Kebudayaan perunggu Asia Tenggara biasanya disebut kebudayaan dongson. Menurut nama tempat penyelidikan pertama di daerah tonkin. Penyelidikan menunjukkan bahwa disanalah pusat kebudayaan perunggu Asia Tenggara. Disana ditemukan segala macam alat-alat perunggu dan nekara, alat-alat dari besi dan kuburan-kuburan zaman itu. Pun bejana yang serupa dengan yang ditemukan di Kerinci dan Madura.
• Candrasa
Candrasa merupakan sejenis kapak yang menyerupai senjata tapi tidak cocok sebagai peralatan perang / pertanian karena tidak kuat dan kokoh. Candrasa ditemukan di Bandung dan diperkirakan digunakan untuk keperluan upacara.
• Teknik Bivalve
Teknik bivalve disebut sebagai teknik setangkup dimana untuk membuat perunggu dilakukan dengan cara menangkupkan dua bagian batu kemudian diisi cairan logam. Berikut langkah – langkahnya :
1. Cetakan terdiri dari dua bagian dan umumnya terbuat dari batu.
2. Cetakan diikat dan perunggu cair dituangkan ke dalam rongga cetakan.
3. Tunggu hingga cetakan dingin dan membeku.
4. Kemudian, cetakan dilepas dan terbentuklah hasil cetakannya.
• Teknik A Cire Perdue
Teknik A Cire Perdue disebut juga sebagai teknik cetak lilin dimana bahan dasarnya berupa tanah liat dan lilin sebagai bahannya. Berikut langkah – langkahnya :
1. Buatlah model benda yang diinginkan dari lilin atau sejenisnya.
2. Benda yang dicetak tersebut kemudian dibungkus dengan tanah liat yang diberi lubang.
3. Lalu, dibakar maka lilin pun meleleh.
4. Selanjutnya, rongga bekas lilin tersebut, diisi dengan cairan perunggu.
5. Setelah perunggu menjadi dingin dan membeku maka tanah liatnya dibuang sehingga menghasilkan barang yang dicetak.
3. Zaman Besi
Zaman besi merupakan zaman dimana manusia telah mampu membuat peralatan dari besi yang lebih sempurna daripada tembaga ataupun perunggu. Dengan cara, meleburkan besi dari bijihnya lalu menuangkan cairan besi tersebut ke dalam cetakan. Adapun hasil peninggalan dari zaman besi yang sudah ditemukan di Indonesia antara lain mata kapak, mata sabit, mata pisau, mata pedang, cangkul, dan sebagainya. Mata kapang digunakan untuk membelah kayu sedangkan mata sabit digunakan untuk menyabit tumbuh – tumbuhan. Di Indonesia, benda – benda tersebut telah ditemukan di Gunung Kidul (Yogyakarta), Bogor, Besuki dan Punung (Jawa Timur).
C. Tahap Awal Logam Di Sumatera, Jawa, Bali, Kepulauan Talaud Dan Maluku Utara
1. Sumatera
Salah satu pusat temuan bangunan-bangunan batu prasejarah yang penting di Indonesia terdapat di daratan Pasemah yang memanjang 70 KM disekitar Pagaralam, Sumatra bagian Selatan (Hoop 1932; Heekeren 1958: 63-79). Beberapa kubur peti batu yang digali oleh Hoop (1932) di Tegurwangi berisi sejumlah besar manik-manik kaca dan beberapa benda logam, antara lain spiral tembaga atau perunggu, sebuah peniti emas, dan tombak besi yang sudah rusak. Semua tidak dapat ditarikhkan secara tepat. Satu dari beberapa di Tegurwangi dan berbagai kubur ruangan megalit di Tanjungara (Bie 1932) dan Kotaraya Lembak (Soejono 1991) pada waktu ditemukan masih menyimpan jejak-jejak lukisan dinding dalam beberapa warna yang memperlihatkan bentuk manusia dan kerbau. Salah satu kubur ruangan yang baru ditemukan di Kotaraya Lembak berisi lukisan seeokor ayam dalam sikap berkelahi yang dilukis dengan empat warna (Caldwell 1996).
Petunjuk yang paling penting untuk menarikhkan pahatan-pahatan ini adalah bentuk nekara tipe Heger I yang dipahatkan pada relief Batugajah dan Airpurah, dilukis juga pada dinding ruang kubur Kotaraya Lembak (Soejono 1991:19) dan mungkin juga diperlihatkan pada ukiran pada batuan alami yang terbuka dekat Tegurwangi (Caldwell 1996). Bukti-bukti ini dapat menyarankan tarikh awal atau pertengahan milenium pertama masehi, meskipun mungkin ada yang bertumpang tindih kurun waktunya dengan masa kerajaan dagang Sriwijaya di daratan timur sekitar Palembang (yaitu sesudah tahun 670M).
2. Jawa
Di Jawa, banyak situs menghasilkan himpunan tinggalan dari tahap logam awal, terutama dalam hubungannya dengan kubur peti batu atau sarkopagus yang diukir secara lebih rumit yang terdapat mulai dari Jawa timur melalui Bali sampai Sumbawa dan Sumba (Soejono 1969, 1982b; Glover 1979). Pada sejumlah tempat di Jawa bagian barat juga terdapat kompleks bagunan batu yang berteras-teras dan juga panggung batu yang tampaknya termasuk dalam tradisi arsitektur pra-Hindu. Selain penelitian mengenai kubur batu dan bangunan megalitik lain, yang senantiasa menarik perhatian arkeologi di bagian barat Indonesia, terdapat sejumlah penggalian di situs lain yang termasuk dalam tahap logam awal di Jawa. Di salah satu situs lain di Jawa bagian utara yang disebut Kradenanrejo dekat Lamongan, Sisa jenazah seorang anak ditempatkan di dalam nekara tipe pejeng, dengan nekara tipe Heger I di atasnya sebagai penutup, bersama manik-manik berfaset dari carnelian, kaca dan emas, satu wadah perunggu dengan hiasan lingkaran dan paduan lengkung-garis yang khas Dongson, hiasan emas berbentuk payung, dua cangkir perunggu dan berbagai benda besi serta perunggu lainnya (Bintarti 1985a).
Situs-situs Jawa lainnya yang menghasilkan himpunan temuan tahap logam awal yang penting, termasuk satu situs di Leuwiliang dekat Bogor dan satu situs di Pejaten sebelah selatan Jakarta. Situs di Leuwiliang menghasilkan serangkaian bekal kubur yang tersusun dalam penguburan tanpa wadah yang sudah hancur, termasuk satu anting-anting perunggu antropomorfis (Soejono 1984) dan topeng dari logam mulia yang belum dapat diidentifikasikan (PPAN 1988). Dari situs di Pejaten (Sutayasa 1979) ditemukan cetakan dari tanah liat bakar untuk membuat beliung perunggu dan pisau. Cetakan ini tampaknya bertarikh radiokarbon sebelum tahun 200 M. Tidak satu pun dari situs-situs ini yang dapat ditemukan secara tegas dan jelas dalam rekonstruksi prasejarah Jawa dan yang paling mendesak untuk dilakukan sekarang adalah menerbitkan catatan hasil penelitian yang lebih lengkap dan lebih banyak tarikh radiokarbon yang diperolehkan dengan baik.
3. Bali
Bali terkenal karena temuan sarkopagusnya yang sangat khas, yang dibuat dari batu tufa atau bereksi yang lunak. Sarkopagus-sarkopagus ini terutama ditemukan di situs-situs pedalaman dibagian tengah dan selatan pulau ini (Heekeren 1955). Sarkopagus Bali mempunyai badan dan tutup yang terpisah, dan tutupnya sendiri bentuknya tinggi melengkung. Umumnya sarkopagus ini mempunyai tonjolan-tonjolan seperti tombol pada ujungnya, yang kadang-kadang diukir berbentuk kepala manusia atau kepala kura-kura. Berbagai ukuran sarkopagus dibuat untuk menyimpan jenasah yang dimasukkan dalam posisi terlipat atau telentang. Bekal kubur yang disertakan mencakup manik-manik kaca dan carnelian, beberapa benda besi yang tidak jelas bentuknya, perhiasan bagus dan selubung tangan yang dibuat dari kumparan kawat perunggu, serta alat perunggu bercorong dengan bentuk sabit dan bentuk hati, yang terakhir dapat disejajarkan dengan temuan di Thailand dari pertengahan milenium pertama SM. Di Gilimanuk, Bali bagian barat, dua di antara sarkopagus yang ditemukan, yang satu dengan tutup berbentuk mirip kerbau dan yang lain dihiasi motif mirip genitalia wanita yang digayakan, telah digali dari konteknya yang ditarikhkan sekitar 1.500 sampai 2.000 tahun lalu.
Gilimanuk adalah situs kubur penting di pantai utara Bali. Situs ini mengandung banyak sisa penguburan manusia dalam posisi telentang tanpa wadah maupun penguburan dalam tempayan dengan bekal kubur berupa tembikar dan benda-benda perunggu seperti yang terdapap di sarkopagus. Bekal kubur lain di situs Gilimanuk diantaranya adalah satu ujung tombak besi yang bertangkai, pisau belati besi bergagang perunggu, serta manik-manik dari emas, kaca dan carnelian. Situs Gilimanuk dan satu sarkopagus di Pangkungliplip menghasilkan penutup mata dan mulut dari emas.
4. Kepulauan Talaud Dan Maluku Utara
Situs penguburan dalam tempayan yang akan dibicarakan pertama kali adalah gua kecil Leang Buidane di Pulau Salebabu dalam kelompok Talaud disebelah timur laut Indonesia. Bejana-bejana penyerta dan benda-benda lain yang ditemukan bersama sisa-sisa penguburan dalam tempayan menunjukkan suatu ciri gaya yang hampir seragam, dan menyiratkan budaya Buidane sebagai budaya yang tampaknya berkembang di seluruh Talaud selama milenium pertama masehi. Periuk-periuk kecil yang ditemukan mencakup wadah berlekuk bahu dan beralas bundar dengan hiasan berupa bidang-bidang datar yang berisi goresan yang cukup rumit, gelas berleher tinggi yang khas dengan poles warna merah yang digosok, dan berbagai bejana untuk memasak. Bejana-bejana yng berlekuk bahu khususnya mempunyai tepian yang berpenampang menyiku, yang juga khas untuk temuan tembikar tahap ini di sabah.
Artefak-artefak lain yang ditemukan di Leang Buidane mencakup gelang dan manik-manik kerang, patahan gelang kaca, manik-manik dari batu agate dan carnelian, penutup kendi dari batu karang, dan satu anting-anting tembikar berbentuk cincin. Manik-manik batu yang ditemukan amat menarik. Kebanyakan adalah manik-manik carnelian merah berfaset dengan bentuk bulat atau memanjang, dengan ketepatan pengeboran yang menunjukkan asalnya dari India , meskipun bentuk-bentunya secara kronologis cocok dan dapat dimasukkan dalam jenis yang umum terdapat di India dan Asia Tenggara selama 2.000 tahun yang lalu. Leang Buidane juga menghasilkan artefak-artefak logam, antara lain sejumlah pecahan dari benda besi yang tidak jelas bentuknya, dan benda-benda dari tembaga atau perunggu yang terdiri atas patahan-patahan gelang, satu kerucut perunggu, dan satu kapak corong dari tembaga. Tiga belahan cetakan setangkup dari tanah liat bakaryang dipakai untuk mencetak kapak dan benda-benda tembaga lainnya juga ditemukan. Temuan-temuan itu menunjukkan bahwa pencetakan logam dilakukan di tempat itu, meskipun mungkin terbatas pada daur ulang artefak-artefak yang aslinya diimpor. Pada umumnya, metalurgi Buidane cocok dalam rentang waktu perkembangan metalurgi yang dilaporkan dari Sabah dan Filifina, dan pembuatan tembaga dan perunggu tampaknya terbatas pada teknik cetakan setangkup, tanpa pemakain lilin.
Di Maluku Utara, sisa-sisa penguburan dalam tempayan berhasil digali dari Gua Uattamdi di pulau Kayoa bersama-sama dengan manik-manik kaca, pecahan besi dan perunggu, mata uang Cina tak bertarikh, dan cangkang kerang besar yang tampaknya disertakan sebagai bekal kubur. Tarikh untuk himpunan ini berkisar dari sekitar tahun 1 sampai 1200 M. Kawasan-kawasan lain di Maluku Utara juga menghasilkan tembikar yang digores dengan ciri-ciri tembikar tahap logam awal dan bertarikh radiokarbon milenium pertama SM, yang ditemukan bersama dengan kuburan sekunder, terutama tengkoraknya, di ceruk peneduh Tanjung Pinang di Morotai serta dalam lapisan hunian di Gua Siti Nafisah di Halmahera, dan situs terbuka Buwawansi di Gebe.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Harioyono, T. Logam dan Peradaban Manusia. Yogyakarta: Philoshophy Press, 2001
Bellwoord, Peter. Prehistory of the Indo-Malayan Archipelago. Sydney: Academic Press, 1985
Van Bemmelen, R.W. The Geology of Indonesia. General Geology of Indonesia and Adjacent Archipelago. Vol. I A. The Hague: Martinus Nijhoff, 1949.
Soejono, R.P, dkk., eds. Sejarah Nasional Indonesia. I. Jakarta: Balai Pustaka, 1984.
Renfrew, C., and P. Bahn. Archaeology Theories, Methods and Practice. London: Thames and Hudson, 1991.
Tanudirjo, Daud Aris, dkk., Indonesia Dalam Arus Sejarah Prasejarah. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2012.
Soekmono, R. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia I. Yogyakarta: Kanisius, 2010.
Kamis, 06 September 2018
Sejarah tunjangan hari buruh (thr) dan dinamika hukum buruh
Tunjangan Hari Raya (THR)
Dan Dinamika Hukum Buruh
Pengantar
Setiap tahun menjelang hari raya idul fitri, media massa sering sekali memberitakan terjadinya aksi unjuk rasa buruh menuntut pelaksanaan pembayaran tunjangan hari raya (THR). Laporan media massa umumnya menyoroti tidak terpenuhinya permintaan buruh yang menuntut apa yang seharusnya diterimanya dalam pekerjaannya. Lebih kurang selama 20 tahun terakhir ini, terutama sejak dibukanya pintu kebebasan berserikat pada Juli 1998, buruh industry memang telah lebih mampu menyuarakan tuntutan tentang THR. Tidak lagi sekedar dalam bentuk mogok spontan, melainkan melalui dan didorong oleh serikat buruhnya, menjadi lebih terorganisir dalam berjuang menuntut pelaksanaan THR.
Karena menjadi persoalan tiap tahunnya, muncul pertanyaan. Bagaimana THR dapat dianggap menjadi suatu kebiasaan yang wajib hukumnya? Sebagai suatu kebiasaan, bagaimana THR dapat menjadi sebagai lembaga social yang baku di masyarakat? Pertanyaan ini menjadi penting dalam melihat perkembangan THR sebagai suatu kebiasaan yang kita kenal sekarang ini.
Paper ini dimaksudkan ingin menjelaskan bagaimana awal mula kemunculan THR dan perkembangannya dalam aturan hukum di Indonesia. Di antara Negara Asia Tenggara, hanya di Indonesia saja dikenal adanya satu konsep kewajiban majikan untuk memberikan tunjangan kepada buruh dalam merayakan hari raya keagamaan. Terlebih lagi, keberadaannya itu dikukuhkan dalam aturan hukum. Ini menjadi satu penanda bahwa THR adalah ciri khas yang memang lahir dan pelaksanaannya berasal dari situasi khusus di Indonesia.
Untuk itu, uraian akan dimulai dengan penjabaran umum tentang latar belakang kondisi munculnya tuntutan akan THR pada 1950, dan menonjolnya peran SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia). SOBSI teguh dalam memimpin perjuangan gerakan buruh demi terpenuhinya tuntutan akan THR. Dalam perkembangannya, dari sebagai sebuah tuntutan serikat buruh, THR kemudian terlembagakan dalam aturan hukum menjadi bagian dari hak ekonomi buruh.
Awal Munculnya Tuntutan THR
Serikat buruh pada dekade 1950an memasukkan persoalan sosial-ekonomi dalam perjuangan tuntutannya akan kesejahteraan buruh lewat berbagai mekanisme. Yang terutama adalah melalui pemogokan. Pemogokan buruh memang mencapai puncaknya pada dekade 1950an seiring dengan upaya pembangunan system penyelesaian perselisihan perburuhan yang masih kecil. Dan lewat sistem penyelesaian perselisihan ini pula serikat buruh memperjuangkan tuntutannya. Yang menjadi persoalan upah selama decade 1950an itu sesungguhnya bukan hanya soal rendahnya upah yang diterima buruh secara nominal, tetapi juga soal rendahnya tingkat kenaikan upah. Terutama, saat dibandingkan dengan kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok. Upah yang rendah memang merupakan satu masalah klasik di dunia perburuhan. Yang tentunya membawa akibat-akibat bagi kehidupan social ekonomi buruh dan keluarganya.
Meskipun terjadi kenaikan upah di berbagai sector lapangan kerja, kenaikan tersebut terlalu rendah untuk dapat mengimbangi kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok. Selama decade 1950an, kaum buruh dipaksa untuk dapat mencukupi kebutuhan hidupnya dengan upah yang rendah sambil saat yang sama menyaksikan kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok yang berada diluar jangkauan upahnya.
Kondisi timpang antara upah buruh dan kenaikan harga kebutuhan pokok ini diulas gamblang oleh seorang pengamat ekonomi perburuhan Everett Hawkins sebagai berikut: “sangat rendahnya tingkat subsistensi yang dialami kaum upahan di Indonesia menyebabkan buruh berada dalam posisi subordinasi. Bukan hanya upah yang rendah, tapi juga harga 19 bahan-bahan makanan pokok di Jakarta naik 77 persen dari tingkat awal sebesar 100 pada 1953 menjadi 177 pada 1957, dan kemudian naik makin cepat, dari 258 pada 1958 menjadi 325 pada akhir 1959. Sementara itu upah tidak naik sedemikian cepatnya. Pembayaran dalam bentuk natura, tentu saja, membantu menopang upah yang diterima, namun dalam banyak kasus terbukti bahwa upah riil telah turun secara drastis”.
Dari sini dapat simpulkan hal-hal yang menjadi latar penyebab munculnya tuntutan akan THR. Latar belakang situasi ekonomi pada dekade 1950an adalah kemiskinan absolut yang dialami kaum buruh. Hal ini menyebabkan, sebagaimana dicatat Hawskins, posisi social ekonomi kaum buruh yang rendah didalam masyarakat umum, terutama dihadapan majikan. Kaum buruh berusaha menaikkan posisi tawarnya terhadap pengusaha.
Sekuat apapun perjuangan buruh, tuntutan akan kenaikan upah selalu menjadi persoalan yang sulit terselesaikan. Sekalipun gerakan buruh berhasil memperjuangkan tuntutan kenaikan upah, kenaikan tersebut masih sangat rendah dibandingkan dengan kenaikan harga barang-barang pokok. Dalam situasi demikian, tuntutan akan THR muncul sebagai tuntutan yang diajukan mengikuti tuntutan kenaikan upah. Harapannya tuntutan akan THR dapat dipenuhi (dan terselesaikan) dengan lebih mudah daripada (dan terselesaikan) dengan lebih mudah daripada tuntutan kenaikan upah. Selain itu juga, dibandingkan dengan tuntutan kenaikan upah, tuntutan akan THR diperkirakan lebih dapat diterima oleh pengusaha karena dirasakan tidak membebani. Dengan demikian, tuntutan akan THR dimaksudkan sebagai tuntutan pelengkap atas tuntutan kenaikan upah.
Dengan latar belakang demikian, dapat kita pahami munculnya tuntutan akan THR sebagai upaya perbaikan nasib kaum buruh umumnya. Meski demikian, tuntutan akan THR ini tidak sepenuhnya didukung oleh pemerintah dan juga masyarakat umum. Sebagian berpendapat bahwa tuntutan akan THR justru akan semakin membebani pengusaha, terutama mereka yang termasuk dalam usaha kecil dan menengah. Dan pada gilirannya justru akan merugikan kaum buruh sendiri. Dari pihak pemerintah sendiri, persoalan tuntutan akan THR masih dilihat dalam kacamata politik-keamanan, terutama saat tuntutan itu diajukan di dalam pemogokan. Pemogokan buruh memang masih dicurigai oleh pemerintah dan penguasa militer daerah sebagai bentuk gangguan keamanan.
Namun, sepanjang 1951-1952 masih belum ada aturan atau keputusan resmi pemerintah menyangkut THR baik soal kepastiannya sebagai salah satu hak buruh (bukan semata-mata hadiah) maupun soal ini besarannya. THR masih dianggap sebagai pemberian yang bersifat sukarela yang tidak dapat dipaksakan. Menghadapi situasi yang demikian, tuntutan akan THR tetap lantang disuarakan oleh gerakan buruh. Hal ini secara langsung juga memaksa pemerintah untuk benar-benar memperhatikan kondisi social ekonomi penghidupan buruh dan terlepas dari soal unsur kerugian perusahaan, agar berani menetapkan THR sebagai suatu kewajiban terhadap pengusaha. Di dalam perjuangan tuntutan akan THR ini, dapat kita telusuri peran sentral gerakan buruh.
SOBSI Dan Perjuangan Tuntutan Akan THR
Dalam menyuarakan tuntutan akan THR
SOBSI menjadi penggerak utama diantara serikat-serikat buruh lainnya. Sebagai organisasi buruh dengan anggota terbanyak pada masanya, SOBSI mengambil peran yang dominan dalam menyuarakan tuntutan akan THR. Tuntutan akan THR pada 1951-1952 umumnya memang masih ditangani serikat buruh di daerah. Namun mulai akhir 1952, tuntutan itu sudah manjadi dengung nasional. Menanggapi perkembangan ini, SOBSI menjadi lebih lantang. Bahkan dalam sidang Dewan Nasional ke II pada Maret 1953 di Jakarta, SOBSI berani menyuarakan agar pemberian tunjangan hari raya bagi semua buruh sebesar satu bulan gaji kotor .
Tuntutan SOBSI akan THR sebesar satu bulan gaji kotor tidaklah berlebihan. Sebab, sesungguhnya tuntutan ini didasarkan pada praktik yang terjadi di beberapa perusahaan. Ini bisa juga dilihat dari satu putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (P4) mengenai tuntutan pemberian THR pada 1951, yang menyebutkan isi besaran THR sebagai berikut:
1. Yang tidak beristri satu bulan gaji pokok dengan minimum Rp 175 - dan maximum Rp 650.
2. Yang sudah beristri 1 ¼ gaji pokok sebulan dengan minimum Rp 250 dan maksimum Rp 750.
3. Mereka yang telah bekerja pada 6 Juli 1951:
0 – 3 bulan diberikan ¼ dari jumlah perizinan diatas
3 – 6 bulan diberikan ½ dari jumlah perizinan diatas
6 – 12 bulan diberikan ¾ dari jumlah perizinan diatas.
Sampai tahun-tahun berikutnya, perjuangan tuntutan akan THR ini tetap menjadi perhatian program kerja SOBSI. Secara khusus, perkembangan yang terjadi di kalangan pegawai negeri diperhatikan seksama agar juga dapat ditiru langkah perjuangannya, dan hasilnya dinikmati oleh buruh swasta. Hal ini bisa kita lihat dari program tuntutan SOBSI pada 1955, yang isinya sebagai berikut:
1. Mendesak kepada pemerintah untuk mengeluarkan peraturan yang mewajibkan para pengusaha partekelir untuk membayar tunjangan hari raya tahun 1955 kepada kaum buruh.
2. Mendesak kepada pemerintah untuk memberikan tunjangan hari raya kepada segenab kaum buruh negeri, baik kepada pegawai yang digaji menurut peraturan gaji pegawai negeri (PGP), buruh otonom, pamong desa, pegawai non aktif, kaum pensiunan, tentara dan polisi.
3. Menyerukan kepada semua kaum buruh, baik anggota maupun bukan anggota SOBSI, supaya lebih mempererat persatuan dan kerja sama serta memperhebat perjuangan untuk berhasilnya tuntutan tunjangan hari raya tahun 1955 dan selanjutnya.
Dari Tuntutan Buruh Menjadi Aturan Hukum
Kerasnya tuntutan serikat buruh akan THR akhirnya memperoleh pengakuan pemerintah dengan terlembagakannya dalam aturan hukum. Pengakuan pemerintah atas tuntutan serikat buruh akan THR mempunyai dua makna simbolis. Pertama, sebagai bukti bahwa tuntutan serikat buruh memiliki urgensi kepentingan yang perlu dipenuhi. Kedua, penyaluran tuntutan serikat lewat lembaga hukum merupakan upaya pemerintah dalam meredam militansi serikat buruh, terlebih lagi ketika yang menuntut adalah pegawai negeri.
Hal ini dimulai pada 1954 dengan terbitnya peraturan tentang apa yang disebut sebagai persekot hari raya . Berbeda dari bentuk pemberian (sebagai hak) sebagaimana yang dituntut gerakan buruh, THR diberikan dalam bentuk persekot. Dengan kata persekot ini, pemerintah berkenan memberikan bantuan THR, yang wajib dibayar kembali dikemudian hari. Pemberian bantuan persekot ini dilakukan bagi semua pegawai negeri. Pengakuan pemerintah lewat pemberian persekot THR hanya bagi pegawai negeri tidaklah menyurutkan tuntutan buruh swasta. Tuntutan akan THR berlanjut terus. Menghadapi lantangnya tuntutan gerakan buruh, menteri perburuhan saat itu, S.M. Abidin, berupaya meredamnya dengan menerbitkan surat edaran no. 3676/54 tentang hadiah lebaran. Surat edaran ini ditujukan kepada seluruh pengusaha di Indonesia. Surat edaran ini berisi anjuran kepada pengusaha swasta untuk secara sukarela memberikan hadiah lebaran kepada buruh.
Meski demikian, dalam kenyataannya, surat edaran ini, tidak membawa banyak perubahan. Ini lebih disebabkan karena surat edaran ini tidak memiliki kekuatan hukum. Sifatnya lebih berupa anjuran dan bukan paksaan/kewajiban yang harus dilaksanakan. Oleh karena itu pula, THR masih dianggap semata-mata sebagai hadiah oleh pengusaha kepada buruh, yang diberikan secara sukarela.
Dalam konteks demikian, tidak mengherankan apabila kemudian sejak 1959 Kementrian perburuhan di bawah pimpinan Ahem Erningpradja yang nasionalis, mulai aktif membaca situasi perburuhan dan menerbitkan satu aturan yang mengukuhkan keberadaan THR sebagai hak ekonomi buruh, yakni dengan terbitnya peraturan Menteri Perburuhan no. 1/1961 tentang Tunjangan Hari Raya Lebaran. Jadi, istilah hadiah lebaran ataupun pembayaran istimewa lebaran diganti secara resmi menjadi tunjangan hari raya lebaran, dan istilah ini masih tetap kita gunakan sampai sekarang. Menurut peraturan 1961 ini, THR menjadi hak bagi buruh swasta yang mempunyai hubungan kerja sekurang-kurangnya 3 bulan tidak terputus. Secara menyeluruh, hak akan THR tersebut diatur penuh dan cukup lengkap dalam aturan baru ini. Selama tahun-tahun berikutnya, isi aturan ini dikukuhkan kembali lewat peraturan mentri perburuhan . Perbedaan yang ada hanya berupa jumlah nominal besaran THR tiap tahunnya.
Dan pada 1964 ditetapkan pula surat edaran bahwa pegawai pemerintah juga berhak mendapatkan THR . Pada 1965, isi yang sama dikukuhkan melalui surat edaran lainnya. Peraturan-peraturan ini merupakan langkah besar dalam perjuangan serikat buruh, bahwa pada akhirnya THR diakui sebagai hak buruh, baik buruh swasta maupun pegawai pemerintah.
THR Dalam Kontrol Politik Ekonomi Negara
Sejak naiknya rezim orde baru, akomodasi politik Negara atas serikat buruh secara perlahan mulai berubah seiring dengan iklim politik yang mengeleminasi elemen-elemen radikal yang dianggap membahayakan stabilitas Negara. Walau orde baru tidak menambah hal baru ataupun mengubah substansi peraturan tahun 1961, THR masih diakui sebagai hak ekonomi buruh pada tahun-tahun awal kekuasaannya. Hal ini dapat dilihat sebagai upaya membangun pandangan yang positif. Orde baru ingin dipandang sebagai rezim baru yang melindungi buruh demi pembangunan ekonomi yang dijanjikan. Hal ini bisa dilihat pada 1967 dengan terbitnya keputusan menteri tenaga kerja yang mengandung substansi serupa dengan peraturan 1961. Sementara pada tahun berikutnya, lewat keputusan menteri tenaga kerja pula, isi besaran THR ditetapkan . Ini adalah upaya untuk memberikan kepastian dalam pengukuran THR sehingga tuntutan buruh dapat diprediksi dan juga dinetralisir ketika dianggap sudah melebihi batas hukum. Sampai 1968, dapat dikatakan bahwa THR masih diakui sebagai hak buruh.
Perubahan kebijakan perburuhan mulai terjadi secara formal sejak 1969 dengan terbitnya undang-undang tentang perburuhan yang menjadi pijakan orde baru dibidang perburuhan . Hal ini seiring dengan pembentukan serangkaian kebijakan ekonomi dengan berpilarkan dalil ekonomi kapitalis liberal Dalam penataan struktur social masyarakat. Termasuk didalamnya, restrukturisasi politik yang dapat menciptakan kendali atas gerakan buruh, guna pembangunan ekonomi. Dalam konteks control social politik inilah, perubahan kebijakan terjadi. Lewat sebuah surat edaran , menteri tenaga kerja, Mohammad Sadli, seorang ekonom rektokrat yang pada periode 1968-1972 menjabat sebagai ketua komite penanaman modal asing (KPMA), mempermasalahkan keberadaan THR yang dianggap dapat membebani pengeluaran investor. Surat yang ditujukan kepada semua pengusaha di Indonesia itu menyarankan diadakannya pengganti tunjangan hari raya.
Pengganti THR dianggap dapat mempermudah persoalan dalam kepastian berusaha, dan terlebih mengurangi beban ekonomi sebagai salah satu daya tarik bagi investor asing. Tanpa adanya penjelasan lebih lanjut, istilah pengganti THR memang punya arti luas dan bisa ditafsirkan sesuai kepentingan pengusaha. Surat ini jelas mengakibatkan ambiguitas, dan memberikan kesempatan bagi pengusaha untuk dapat menetapkan keputusan secara sepihak. Dengan ini, pengusaha bisa dengan mudah berdalih telah memberikan pengganti THR sehingga tidak merasa perlu memenuhi kewajiban untuk memberikan hak buruh akan THR.
Semenjak terbitnya surat menteri 1972 ini, praktis keberadaan THR sebagai hak ekonomi buruh menjadi sulit dalam pelaksanaannya. Walau sesungguhnya, keputusan menteri tenaga kerja no. 16/1968 tidak pernah dicabut dalam aturan hukum positif. Penyusuran media massa sepanjang 1970an tidak menemukan adanya liputan akan pemenuhan pelaksanaan THR maupun tuntutan buruh akan THR. Praktis, buruh menjadi tidak dapat mengajukan tuntutan akan THR, meskipun sesungguhnya, dasar aturan hukum masih menjamin. Hilangnya tuntutan akan THR di dalam dunia perburuhan sepanjang 1970an ini sejalan dengan semakin ketatnya kendali pemerintah atas gerakan buruh. Dan selama kurun waktu 20 tahun selanjutnya, kondisi ini terus berlanjut menjadi suatu hal yang normal. Tidak lagi dipertanyakan dan dipersoalkan mengapa THR menglami mati-suri.
Seiring dengan itu, buruh tidak diberikan kesempatan untuk menyuarakan apa yang menjadi hak dan kepentingannya secara bebas dan mandiri. Juga, buruh tidak dimungkinkan untuk mempertanyakan isi suatu aturan yang dikeluarkan pemerintah, terlebih bila itu menyangkut hak dan kepentingannya. Karena itu pula, aksi pemogokan dan demonstrasi buruh pada masa itu bukan hanya mustahil, tapi juga menjadi salah satu tabu social politik. Menuntut hak menjadi suatu tindak pidana melawan Negara, sekalipun hak tersebut dijamin undang-undang ataupun berdasarkan hak azasi manusia. Terlebih pula, tuntutan buruh dilihat sebagai suatu yang melawan kondrat social karena kewajiban buruh semata-mata adalah bekerja demi pembangunan. Buruh tidak dianggap sebagai actor utama didalamnya, yang berhak pula menikmati hasil-hasil pembangunan. Sebagai akibat, keberadaan THR sebagai hak ekonomi buruh menjadi kabur.
Walaupun demikian, gerakan buruh tidak sepenuhnya melupakan apa yang sudah diperjuangkannya. Kebijakan industrialisasi yang dijalankan orde baru telah melahirkan kaum buruh yang secara perlahan membentuk identitas diri sebagai kelas proletar yang mulai berani menyuarakan tuntutan-tuntutan ekonominya diluar institusi kendali Negara. Terlebih pula karena, saluran-saluran resmi disumbat atau buntu, dan kebebasan berserikat tidak dapat dinikmati buruh guna memperjuangkan hak dan kepentingannya. Dalam kondisi inilah, dapat dipahami sepanjang 1989 hingga 1993 terjadi lonjakan angka pemogokan yang memuncak pada 1994. Lonjakan pemogokan ini cukup tinggi, bahkan menurut catatan resmi pemerintah (yang terkenal sering memberikan angka / tafsiran yang konservatif).
Pemogokan buruh sepanjang 1993-1994 ini memang nyatanya didominasi oleh tuntutan ekonomi, dan persoalan tentang THR menduduki penyebab kedua demonstrasi/ Pemogokan buruh sesudah tuntutan akan upah. Hal ini serupa dengan apa yang sebelumnya terjadi pada 1951-1952. Sebangun pula dapat kita llihat bahwa pemogokan buruh di awal decade 1990an ini lebih disebabkan karena persoalan perbaikan nasib bukan dilatarbelakangi politik seperti yang ditakutkan reim orde baru dengan menuding adanya actor intlektual di balik pemogokan buruh.
Dalam situasi demikian, aksi pemogokan terkemuka pada masa orde baru adalah pemogokan buruh yang terjadi di Medan pada April 1994. Pemogokan ini, sebagaimana terungkap dalam pleidoi Muchtar Pakpahan, ketua SBSI (Serikat Buruh Sejahtera Indonesia), justru berawal dari pemenuhan tuntutan atas THR. Selengkapnya sebagaimana tercatat: “unjuk rasa itu diawali mogok spontan tanggal 11 Maret 1994. Tanggal 11Maret 1994 (jum’at), sekitar 27 buruh perusahaan di Medan serentak mogok. Tanggal 11 Maret 1994 adalah hari terakhir bulan puasa, atau satu hari menjelang hari raya idul fitri. Walaupun sudah tinggal satu hari menjelang lebaran, banyak perusahaan belum membayar THR, padahal menteri tenaga kerja sudah menginstruksikan 14 hari menjelang lebaran sudah harus dibayarkan THR” Pemogokan buruh industry di Medan yang terjadi di masa itu membuka kesempatan bagi gerakan buruh untuk mulai berani menyuarakan tuntutannya. Tidak terpenuhinya hak buruh akan THR memang sudah menjadi masalah yang akut. Justru karena itu pula, tuntutan akan THR menjadi pintu utama yang membuka kedok politik pemerintah yang terjadi dalam dunia perburuhan, yang selama itu selalu ditutup-tutupi dan dikubur paksa dalam kebisuan social poltik Negara.
Menghadapi pemogokan buruh ini, pemerintah tidak mampu berbuat banyak. Terlebih pula, yang menjadi persoalan dasar penyebab pemogokan buruh adalah persoalan perbaikan nasib. Meski demikian, pemerintah tidak sungguh-sungguh berupaya menyelesaikan persoalan mendasar ini. Yang justru terjadi, pemerintah pada 1994 malah menerbitkan peraturan menteri tenaga kerja yang konon didasari oleh perhatian pemerintah kepada tenaga kerja Indonesia yang umumnya berpenghasilan rendah.
Isi peraturan 1994 ini menyerupai peraturan sebelumnya dengan perbedaan substansial pada dua hal: hak buruh kontrak atas THR, dan pengecualian dari kewajiban pemberian THR. Dua hal yang substantive ini dapat dijadikan tolak ukur seberapa serius perhatian pemerintah sesungguhnya terhadap mereka yang umumnya berpenghasilan rendah. Dengan demikian, THR sesungguhnya belum diakui sebagai hak buruh. Melainkan, hanya dianggap sebagai istrumen kebijakan social Negara. Selama 20 tahun ini keberadaan THR sebagai hak ekonomi buruh memang menjadi kabur dan tuntutan agar THR dianggap sebagai tuntutan kepentingan bukan dianggap sebagai tuntutan normative.
Jadi, peraturan 1994 ini tidak bermaksud hendak mengakui kembali keberadaan THR sebagai hak buruh, melainkan hanya sebagai bentuk perhatian pemerintah. Lewat peraturan ini, pemerintah orde baru ingin membangun citra sebagai Negara yang melindungi buruh yang umumnya berpenghasilan rendah, tapi tidak pada tahap pengakuan akan hak ekonominya. Malainkan, dengan menggunakan THR sebagai alat kampanye untuk meredam gejolak buruh. Dalam konteks demikian, dapat dimengerti kekecewaan gerakan buruh.
Penutup
Paper ini telah memperlihatkan bagaimana awal dan perkembangan THR dalam dinamika hubungan perburuhan Indonesia. THR yang dimulai sebagai tuntutan buruh pada 1950 setelah perjuangan panjang melalui aksi mogok dan teknis hukum, berhasil menjadi norma hukum positif pada awal 1960an. Di dalam konteks pergulatan politis masa itu, THR adalah bagian dari upaya pemerintah guna meredam militansi gerakan buruh dengan mengakuinya sebagai hak ekonomi buruh. Sayangnya, di dalam perjalanan sejarah kondisi social politik Negara selanjutnya, THR menjadi bagian dari kendali rezim orde baru atas gerakan buruh. Keberadaannya sebagai hak buruh dikaburkan, dan bahkan dijadikan tali kekang yang dapat dikencang-kendurkan sesuai dengan kepentingan stabilitas ekonomi politik Negara.
Dalam dinamika Negara dan gerakan buruh itu, terlihat bahwa aturan hukum tentang THR telah menjadi istrumen yang dipergunakan oleh pemerintah apapun rezimnya, baik orde lama maupun orde baru dalam menghadapi gejolak tuntutan buruh. Fungsi hukum yang istrumentalis ini terjadi dalam arena intraksi antara Negara dengan masyarakat yang diaturnya yang dalam hal ini adalah gerakan buruh.
Aturan hukum tidaklah membetu-beku dalam perjalanan sejarah, melainkan sangat bergantung pada dan dipengaruhi oleh koondisi social politik yang melingkupinya. Dalam konteks demikian, maka mudah dipahami bahwa walau berada dalam control social politis pemerintahan orde baru, gerakan buruh tidak begitu saja melupakan apa yang telah menjadi hasil dari perjuangannya akan THR, dan ini menjadi sumber ingatan kolektif masyarakat yang dikemudian hari terlembagakan sebagai kebiasaan.
Sumber Bacaan
Suryomenggolo jafar, politik perburuhan era demokrasi liberal 1950an, Yogyakarta: pusat studi dan dokumentasi sejarah Indonesia, 2015.
Pakpahan, Muchtar, rakyat menggugat, Jakarta: pustaka forum adil sejahtera, 1996.
Dan Dinamika Hukum Buruh
Pengantar
Setiap tahun menjelang hari raya idul fitri, media massa sering sekali memberitakan terjadinya aksi unjuk rasa buruh menuntut pelaksanaan pembayaran tunjangan hari raya (THR). Laporan media massa umumnya menyoroti tidak terpenuhinya permintaan buruh yang menuntut apa yang seharusnya diterimanya dalam pekerjaannya. Lebih kurang selama 20 tahun terakhir ini, terutama sejak dibukanya pintu kebebasan berserikat pada Juli 1998, buruh industry memang telah lebih mampu menyuarakan tuntutan tentang THR. Tidak lagi sekedar dalam bentuk mogok spontan, melainkan melalui dan didorong oleh serikat buruhnya, menjadi lebih terorganisir dalam berjuang menuntut pelaksanaan THR.
Karena menjadi persoalan tiap tahunnya, muncul pertanyaan. Bagaimana THR dapat dianggap menjadi suatu kebiasaan yang wajib hukumnya? Sebagai suatu kebiasaan, bagaimana THR dapat menjadi sebagai lembaga social yang baku di masyarakat? Pertanyaan ini menjadi penting dalam melihat perkembangan THR sebagai suatu kebiasaan yang kita kenal sekarang ini.
Paper ini dimaksudkan ingin menjelaskan bagaimana awal mula kemunculan THR dan perkembangannya dalam aturan hukum di Indonesia. Di antara Negara Asia Tenggara, hanya di Indonesia saja dikenal adanya satu konsep kewajiban majikan untuk memberikan tunjangan kepada buruh dalam merayakan hari raya keagamaan. Terlebih lagi, keberadaannya itu dikukuhkan dalam aturan hukum. Ini menjadi satu penanda bahwa THR adalah ciri khas yang memang lahir dan pelaksanaannya berasal dari situasi khusus di Indonesia.
Untuk itu, uraian akan dimulai dengan penjabaran umum tentang latar belakang kondisi munculnya tuntutan akan THR pada 1950, dan menonjolnya peran SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia). SOBSI teguh dalam memimpin perjuangan gerakan buruh demi terpenuhinya tuntutan akan THR. Dalam perkembangannya, dari sebagai sebuah tuntutan serikat buruh, THR kemudian terlembagakan dalam aturan hukum menjadi bagian dari hak ekonomi buruh.
Awal Munculnya Tuntutan THR
Serikat buruh pada dekade 1950an memasukkan persoalan sosial-ekonomi dalam perjuangan tuntutannya akan kesejahteraan buruh lewat berbagai mekanisme. Yang terutama adalah melalui pemogokan. Pemogokan buruh memang mencapai puncaknya pada dekade 1950an seiring dengan upaya pembangunan system penyelesaian perselisihan perburuhan yang masih kecil. Dan lewat sistem penyelesaian perselisihan ini pula serikat buruh memperjuangkan tuntutannya. Yang menjadi persoalan upah selama decade 1950an itu sesungguhnya bukan hanya soal rendahnya upah yang diterima buruh secara nominal, tetapi juga soal rendahnya tingkat kenaikan upah. Terutama, saat dibandingkan dengan kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok. Upah yang rendah memang merupakan satu masalah klasik di dunia perburuhan. Yang tentunya membawa akibat-akibat bagi kehidupan social ekonomi buruh dan keluarganya.
Meskipun terjadi kenaikan upah di berbagai sector lapangan kerja, kenaikan tersebut terlalu rendah untuk dapat mengimbangi kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok. Selama decade 1950an, kaum buruh dipaksa untuk dapat mencukupi kebutuhan hidupnya dengan upah yang rendah sambil saat yang sama menyaksikan kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok yang berada diluar jangkauan upahnya.
Kondisi timpang antara upah buruh dan kenaikan harga kebutuhan pokok ini diulas gamblang oleh seorang pengamat ekonomi perburuhan Everett Hawkins sebagai berikut: “sangat rendahnya tingkat subsistensi yang dialami kaum upahan di Indonesia menyebabkan buruh berada dalam posisi subordinasi. Bukan hanya upah yang rendah, tapi juga harga 19 bahan-bahan makanan pokok di Jakarta naik 77 persen dari tingkat awal sebesar 100 pada 1953 menjadi 177 pada 1957, dan kemudian naik makin cepat, dari 258 pada 1958 menjadi 325 pada akhir 1959. Sementara itu upah tidak naik sedemikian cepatnya. Pembayaran dalam bentuk natura, tentu saja, membantu menopang upah yang diterima, namun dalam banyak kasus terbukti bahwa upah riil telah turun secara drastis”.
Dari sini dapat simpulkan hal-hal yang menjadi latar penyebab munculnya tuntutan akan THR. Latar belakang situasi ekonomi pada dekade 1950an adalah kemiskinan absolut yang dialami kaum buruh. Hal ini menyebabkan, sebagaimana dicatat Hawskins, posisi social ekonomi kaum buruh yang rendah didalam masyarakat umum, terutama dihadapan majikan. Kaum buruh berusaha menaikkan posisi tawarnya terhadap pengusaha.
Sekuat apapun perjuangan buruh, tuntutan akan kenaikan upah selalu menjadi persoalan yang sulit terselesaikan. Sekalipun gerakan buruh berhasil memperjuangkan tuntutan kenaikan upah, kenaikan tersebut masih sangat rendah dibandingkan dengan kenaikan harga barang-barang pokok. Dalam situasi demikian, tuntutan akan THR muncul sebagai tuntutan yang diajukan mengikuti tuntutan kenaikan upah. Harapannya tuntutan akan THR dapat dipenuhi (dan terselesaikan) dengan lebih mudah daripada (dan terselesaikan) dengan lebih mudah daripada tuntutan kenaikan upah. Selain itu juga, dibandingkan dengan tuntutan kenaikan upah, tuntutan akan THR diperkirakan lebih dapat diterima oleh pengusaha karena dirasakan tidak membebani. Dengan demikian, tuntutan akan THR dimaksudkan sebagai tuntutan pelengkap atas tuntutan kenaikan upah.
Dengan latar belakang demikian, dapat kita pahami munculnya tuntutan akan THR sebagai upaya perbaikan nasib kaum buruh umumnya. Meski demikian, tuntutan akan THR ini tidak sepenuhnya didukung oleh pemerintah dan juga masyarakat umum. Sebagian berpendapat bahwa tuntutan akan THR justru akan semakin membebani pengusaha, terutama mereka yang termasuk dalam usaha kecil dan menengah. Dan pada gilirannya justru akan merugikan kaum buruh sendiri. Dari pihak pemerintah sendiri, persoalan tuntutan akan THR masih dilihat dalam kacamata politik-keamanan, terutama saat tuntutan itu diajukan di dalam pemogokan. Pemogokan buruh memang masih dicurigai oleh pemerintah dan penguasa militer daerah sebagai bentuk gangguan keamanan.
Namun, sepanjang 1951-1952 masih belum ada aturan atau keputusan resmi pemerintah menyangkut THR baik soal kepastiannya sebagai salah satu hak buruh (bukan semata-mata hadiah) maupun soal ini besarannya. THR masih dianggap sebagai pemberian yang bersifat sukarela yang tidak dapat dipaksakan. Menghadapi situasi yang demikian, tuntutan akan THR tetap lantang disuarakan oleh gerakan buruh. Hal ini secara langsung juga memaksa pemerintah untuk benar-benar memperhatikan kondisi social ekonomi penghidupan buruh dan terlepas dari soal unsur kerugian perusahaan, agar berani menetapkan THR sebagai suatu kewajiban terhadap pengusaha. Di dalam perjuangan tuntutan akan THR ini, dapat kita telusuri peran sentral gerakan buruh.
SOBSI Dan Perjuangan Tuntutan Akan THR
Dalam menyuarakan tuntutan akan THR
SOBSI menjadi penggerak utama diantara serikat-serikat buruh lainnya. Sebagai organisasi buruh dengan anggota terbanyak pada masanya, SOBSI mengambil peran yang dominan dalam menyuarakan tuntutan akan THR. Tuntutan akan THR pada 1951-1952 umumnya memang masih ditangani serikat buruh di daerah. Namun mulai akhir 1952, tuntutan itu sudah manjadi dengung nasional. Menanggapi perkembangan ini, SOBSI menjadi lebih lantang. Bahkan dalam sidang Dewan Nasional ke II pada Maret 1953 di Jakarta, SOBSI berani menyuarakan agar pemberian tunjangan hari raya bagi semua buruh sebesar satu bulan gaji kotor .
Tuntutan SOBSI akan THR sebesar satu bulan gaji kotor tidaklah berlebihan. Sebab, sesungguhnya tuntutan ini didasarkan pada praktik yang terjadi di beberapa perusahaan. Ini bisa juga dilihat dari satu putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (P4) mengenai tuntutan pemberian THR pada 1951, yang menyebutkan isi besaran THR sebagai berikut:
1. Yang tidak beristri satu bulan gaji pokok dengan minimum Rp 175 - dan maximum Rp 650.
2. Yang sudah beristri 1 ¼ gaji pokok sebulan dengan minimum Rp 250 dan maksimum Rp 750.
3. Mereka yang telah bekerja pada 6 Juli 1951:
0 – 3 bulan diberikan ¼ dari jumlah perizinan diatas
3 – 6 bulan diberikan ½ dari jumlah perizinan diatas
6 – 12 bulan diberikan ¾ dari jumlah perizinan diatas.
Sampai tahun-tahun berikutnya, perjuangan tuntutan akan THR ini tetap menjadi perhatian program kerja SOBSI. Secara khusus, perkembangan yang terjadi di kalangan pegawai negeri diperhatikan seksama agar juga dapat ditiru langkah perjuangannya, dan hasilnya dinikmati oleh buruh swasta. Hal ini bisa kita lihat dari program tuntutan SOBSI pada 1955, yang isinya sebagai berikut:
1. Mendesak kepada pemerintah untuk mengeluarkan peraturan yang mewajibkan para pengusaha partekelir untuk membayar tunjangan hari raya tahun 1955 kepada kaum buruh.
2. Mendesak kepada pemerintah untuk memberikan tunjangan hari raya kepada segenab kaum buruh negeri, baik kepada pegawai yang digaji menurut peraturan gaji pegawai negeri (PGP), buruh otonom, pamong desa, pegawai non aktif, kaum pensiunan, tentara dan polisi.
3. Menyerukan kepada semua kaum buruh, baik anggota maupun bukan anggota SOBSI, supaya lebih mempererat persatuan dan kerja sama serta memperhebat perjuangan untuk berhasilnya tuntutan tunjangan hari raya tahun 1955 dan selanjutnya.
Dari Tuntutan Buruh Menjadi Aturan Hukum
Kerasnya tuntutan serikat buruh akan THR akhirnya memperoleh pengakuan pemerintah dengan terlembagakannya dalam aturan hukum. Pengakuan pemerintah atas tuntutan serikat buruh akan THR mempunyai dua makna simbolis. Pertama, sebagai bukti bahwa tuntutan serikat buruh memiliki urgensi kepentingan yang perlu dipenuhi. Kedua, penyaluran tuntutan serikat lewat lembaga hukum merupakan upaya pemerintah dalam meredam militansi serikat buruh, terlebih lagi ketika yang menuntut adalah pegawai negeri.
Hal ini dimulai pada 1954 dengan terbitnya peraturan tentang apa yang disebut sebagai persekot hari raya . Berbeda dari bentuk pemberian (sebagai hak) sebagaimana yang dituntut gerakan buruh, THR diberikan dalam bentuk persekot. Dengan kata persekot ini, pemerintah berkenan memberikan bantuan THR, yang wajib dibayar kembali dikemudian hari. Pemberian bantuan persekot ini dilakukan bagi semua pegawai negeri. Pengakuan pemerintah lewat pemberian persekot THR hanya bagi pegawai negeri tidaklah menyurutkan tuntutan buruh swasta. Tuntutan akan THR berlanjut terus. Menghadapi lantangnya tuntutan gerakan buruh, menteri perburuhan saat itu, S.M. Abidin, berupaya meredamnya dengan menerbitkan surat edaran no. 3676/54 tentang hadiah lebaran. Surat edaran ini ditujukan kepada seluruh pengusaha di Indonesia. Surat edaran ini berisi anjuran kepada pengusaha swasta untuk secara sukarela memberikan hadiah lebaran kepada buruh.
Meski demikian, dalam kenyataannya, surat edaran ini, tidak membawa banyak perubahan. Ini lebih disebabkan karena surat edaran ini tidak memiliki kekuatan hukum. Sifatnya lebih berupa anjuran dan bukan paksaan/kewajiban yang harus dilaksanakan. Oleh karena itu pula, THR masih dianggap semata-mata sebagai hadiah oleh pengusaha kepada buruh, yang diberikan secara sukarela.
Dalam konteks demikian, tidak mengherankan apabila kemudian sejak 1959 Kementrian perburuhan di bawah pimpinan Ahem Erningpradja yang nasionalis, mulai aktif membaca situasi perburuhan dan menerbitkan satu aturan yang mengukuhkan keberadaan THR sebagai hak ekonomi buruh, yakni dengan terbitnya peraturan Menteri Perburuhan no. 1/1961 tentang Tunjangan Hari Raya Lebaran. Jadi, istilah hadiah lebaran ataupun pembayaran istimewa lebaran diganti secara resmi menjadi tunjangan hari raya lebaran, dan istilah ini masih tetap kita gunakan sampai sekarang. Menurut peraturan 1961 ini, THR menjadi hak bagi buruh swasta yang mempunyai hubungan kerja sekurang-kurangnya 3 bulan tidak terputus. Secara menyeluruh, hak akan THR tersebut diatur penuh dan cukup lengkap dalam aturan baru ini. Selama tahun-tahun berikutnya, isi aturan ini dikukuhkan kembali lewat peraturan mentri perburuhan . Perbedaan yang ada hanya berupa jumlah nominal besaran THR tiap tahunnya.
Dan pada 1964 ditetapkan pula surat edaran bahwa pegawai pemerintah juga berhak mendapatkan THR . Pada 1965, isi yang sama dikukuhkan melalui surat edaran lainnya. Peraturan-peraturan ini merupakan langkah besar dalam perjuangan serikat buruh, bahwa pada akhirnya THR diakui sebagai hak buruh, baik buruh swasta maupun pegawai pemerintah.
THR Dalam Kontrol Politik Ekonomi Negara
Sejak naiknya rezim orde baru, akomodasi politik Negara atas serikat buruh secara perlahan mulai berubah seiring dengan iklim politik yang mengeleminasi elemen-elemen radikal yang dianggap membahayakan stabilitas Negara. Walau orde baru tidak menambah hal baru ataupun mengubah substansi peraturan tahun 1961, THR masih diakui sebagai hak ekonomi buruh pada tahun-tahun awal kekuasaannya. Hal ini dapat dilihat sebagai upaya membangun pandangan yang positif. Orde baru ingin dipandang sebagai rezim baru yang melindungi buruh demi pembangunan ekonomi yang dijanjikan. Hal ini bisa dilihat pada 1967 dengan terbitnya keputusan menteri tenaga kerja yang mengandung substansi serupa dengan peraturan 1961. Sementara pada tahun berikutnya, lewat keputusan menteri tenaga kerja pula, isi besaran THR ditetapkan . Ini adalah upaya untuk memberikan kepastian dalam pengukuran THR sehingga tuntutan buruh dapat diprediksi dan juga dinetralisir ketika dianggap sudah melebihi batas hukum. Sampai 1968, dapat dikatakan bahwa THR masih diakui sebagai hak buruh.
Perubahan kebijakan perburuhan mulai terjadi secara formal sejak 1969 dengan terbitnya undang-undang tentang perburuhan yang menjadi pijakan orde baru dibidang perburuhan . Hal ini seiring dengan pembentukan serangkaian kebijakan ekonomi dengan berpilarkan dalil ekonomi kapitalis liberal Dalam penataan struktur social masyarakat. Termasuk didalamnya, restrukturisasi politik yang dapat menciptakan kendali atas gerakan buruh, guna pembangunan ekonomi. Dalam konteks control social politik inilah, perubahan kebijakan terjadi. Lewat sebuah surat edaran , menteri tenaga kerja, Mohammad Sadli, seorang ekonom rektokrat yang pada periode 1968-1972 menjabat sebagai ketua komite penanaman modal asing (KPMA), mempermasalahkan keberadaan THR yang dianggap dapat membebani pengeluaran investor. Surat yang ditujukan kepada semua pengusaha di Indonesia itu menyarankan diadakannya pengganti tunjangan hari raya.
Pengganti THR dianggap dapat mempermudah persoalan dalam kepastian berusaha, dan terlebih mengurangi beban ekonomi sebagai salah satu daya tarik bagi investor asing. Tanpa adanya penjelasan lebih lanjut, istilah pengganti THR memang punya arti luas dan bisa ditafsirkan sesuai kepentingan pengusaha. Surat ini jelas mengakibatkan ambiguitas, dan memberikan kesempatan bagi pengusaha untuk dapat menetapkan keputusan secara sepihak. Dengan ini, pengusaha bisa dengan mudah berdalih telah memberikan pengganti THR sehingga tidak merasa perlu memenuhi kewajiban untuk memberikan hak buruh akan THR.
Semenjak terbitnya surat menteri 1972 ini, praktis keberadaan THR sebagai hak ekonomi buruh menjadi sulit dalam pelaksanaannya. Walau sesungguhnya, keputusan menteri tenaga kerja no. 16/1968 tidak pernah dicabut dalam aturan hukum positif. Penyusuran media massa sepanjang 1970an tidak menemukan adanya liputan akan pemenuhan pelaksanaan THR maupun tuntutan buruh akan THR. Praktis, buruh menjadi tidak dapat mengajukan tuntutan akan THR, meskipun sesungguhnya, dasar aturan hukum masih menjamin. Hilangnya tuntutan akan THR di dalam dunia perburuhan sepanjang 1970an ini sejalan dengan semakin ketatnya kendali pemerintah atas gerakan buruh. Dan selama kurun waktu 20 tahun selanjutnya, kondisi ini terus berlanjut menjadi suatu hal yang normal. Tidak lagi dipertanyakan dan dipersoalkan mengapa THR menglami mati-suri.
Seiring dengan itu, buruh tidak diberikan kesempatan untuk menyuarakan apa yang menjadi hak dan kepentingannya secara bebas dan mandiri. Juga, buruh tidak dimungkinkan untuk mempertanyakan isi suatu aturan yang dikeluarkan pemerintah, terlebih bila itu menyangkut hak dan kepentingannya. Karena itu pula, aksi pemogokan dan demonstrasi buruh pada masa itu bukan hanya mustahil, tapi juga menjadi salah satu tabu social politik. Menuntut hak menjadi suatu tindak pidana melawan Negara, sekalipun hak tersebut dijamin undang-undang ataupun berdasarkan hak azasi manusia. Terlebih pula, tuntutan buruh dilihat sebagai suatu yang melawan kondrat social karena kewajiban buruh semata-mata adalah bekerja demi pembangunan. Buruh tidak dianggap sebagai actor utama didalamnya, yang berhak pula menikmati hasil-hasil pembangunan. Sebagai akibat, keberadaan THR sebagai hak ekonomi buruh menjadi kabur.
Walaupun demikian, gerakan buruh tidak sepenuhnya melupakan apa yang sudah diperjuangkannya. Kebijakan industrialisasi yang dijalankan orde baru telah melahirkan kaum buruh yang secara perlahan membentuk identitas diri sebagai kelas proletar yang mulai berani menyuarakan tuntutan-tuntutan ekonominya diluar institusi kendali Negara. Terlebih pula karena, saluran-saluran resmi disumbat atau buntu, dan kebebasan berserikat tidak dapat dinikmati buruh guna memperjuangkan hak dan kepentingannya. Dalam kondisi inilah, dapat dipahami sepanjang 1989 hingga 1993 terjadi lonjakan angka pemogokan yang memuncak pada 1994. Lonjakan pemogokan ini cukup tinggi, bahkan menurut catatan resmi pemerintah (yang terkenal sering memberikan angka / tafsiran yang konservatif).
Pemogokan buruh sepanjang 1993-1994 ini memang nyatanya didominasi oleh tuntutan ekonomi, dan persoalan tentang THR menduduki penyebab kedua demonstrasi/ Pemogokan buruh sesudah tuntutan akan upah. Hal ini serupa dengan apa yang sebelumnya terjadi pada 1951-1952. Sebangun pula dapat kita llihat bahwa pemogokan buruh di awal decade 1990an ini lebih disebabkan karena persoalan perbaikan nasib bukan dilatarbelakangi politik seperti yang ditakutkan reim orde baru dengan menuding adanya actor intlektual di balik pemogokan buruh.
Dalam situasi demikian, aksi pemogokan terkemuka pada masa orde baru adalah pemogokan buruh yang terjadi di Medan pada April 1994. Pemogokan ini, sebagaimana terungkap dalam pleidoi Muchtar Pakpahan, ketua SBSI (Serikat Buruh Sejahtera Indonesia), justru berawal dari pemenuhan tuntutan atas THR. Selengkapnya sebagaimana tercatat: “unjuk rasa itu diawali mogok spontan tanggal 11 Maret 1994. Tanggal 11Maret 1994 (jum’at), sekitar 27 buruh perusahaan di Medan serentak mogok. Tanggal 11 Maret 1994 adalah hari terakhir bulan puasa, atau satu hari menjelang hari raya idul fitri. Walaupun sudah tinggal satu hari menjelang lebaran, banyak perusahaan belum membayar THR, padahal menteri tenaga kerja sudah menginstruksikan 14 hari menjelang lebaran sudah harus dibayarkan THR” Pemogokan buruh industry di Medan yang terjadi di masa itu membuka kesempatan bagi gerakan buruh untuk mulai berani menyuarakan tuntutannya. Tidak terpenuhinya hak buruh akan THR memang sudah menjadi masalah yang akut. Justru karena itu pula, tuntutan akan THR menjadi pintu utama yang membuka kedok politik pemerintah yang terjadi dalam dunia perburuhan, yang selama itu selalu ditutup-tutupi dan dikubur paksa dalam kebisuan social poltik Negara.
Menghadapi pemogokan buruh ini, pemerintah tidak mampu berbuat banyak. Terlebih pula, yang menjadi persoalan dasar penyebab pemogokan buruh adalah persoalan perbaikan nasib. Meski demikian, pemerintah tidak sungguh-sungguh berupaya menyelesaikan persoalan mendasar ini. Yang justru terjadi, pemerintah pada 1994 malah menerbitkan peraturan menteri tenaga kerja yang konon didasari oleh perhatian pemerintah kepada tenaga kerja Indonesia yang umumnya berpenghasilan rendah.
Isi peraturan 1994 ini menyerupai peraturan sebelumnya dengan perbedaan substansial pada dua hal: hak buruh kontrak atas THR, dan pengecualian dari kewajiban pemberian THR. Dua hal yang substantive ini dapat dijadikan tolak ukur seberapa serius perhatian pemerintah sesungguhnya terhadap mereka yang umumnya berpenghasilan rendah. Dengan demikian, THR sesungguhnya belum diakui sebagai hak buruh. Melainkan, hanya dianggap sebagai istrumen kebijakan social Negara. Selama 20 tahun ini keberadaan THR sebagai hak ekonomi buruh memang menjadi kabur dan tuntutan agar THR dianggap sebagai tuntutan kepentingan bukan dianggap sebagai tuntutan normative.
Jadi, peraturan 1994 ini tidak bermaksud hendak mengakui kembali keberadaan THR sebagai hak buruh, melainkan hanya sebagai bentuk perhatian pemerintah. Lewat peraturan ini, pemerintah orde baru ingin membangun citra sebagai Negara yang melindungi buruh yang umumnya berpenghasilan rendah, tapi tidak pada tahap pengakuan akan hak ekonominya. Malainkan, dengan menggunakan THR sebagai alat kampanye untuk meredam gejolak buruh. Dalam konteks demikian, dapat dimengerti kekecewaan gerakan buruh.
Penutup
Paper ini telah memperlihatkan bagaimana awal dan perkembangan THR dalam dinamika hubungan perburuhan Indonesia. THR yang dimulai sebagai tuntutan buruh pada 1950 setelah perjuangan panjang melalui aksi mogok dan teknis hukum, berhasil menjadi norma hukum positif pada awal 1960an. Di dalam konteks pergulatan politis masa itu, THR adalah bagian dari upaya pemerintah guna meredam militansi gerakan buruh dengan mengakuinya sebagai hak ekonomi buruh. Sayangnya, di dalam perjalanan sejarah kondisi social politik Negara selanjutnya, THR menjadi bagian dari kendali rezim orde baru atas gerakan buruh. Keberadaannya sebagai hak buruh dikaburkan, dan bahkan dijadikan tali kekang yang dapat dikencang-kendurkan sesuai dengan kepentingan stabilitas ekonomi politik Negara.
Dalam dinamika Negara dan gerakan buruh itu, terlihat bahwa aturan hukum tentang THR telah menjadi istrumen yang dipergunakan oleh pemerintah apapun rezimnya, baik orde lama maupun orde baru dalam menghadapi gejolak tuntutan buruh. Fungsi hukum yang istrumentalis ini terjadi dalam arena intraksi antara Negara dengan masyarakat yang diaturnya yang dalam hal ini adalah gerakan buruh.
Aturan hukum tidaklah membetu-beku dalam perjalanan sejarah, melainkan sangat bergantung pada dan dipengaruhi oleh koondisi social politik yang melingkupinya. Dalam konteks demikian, maka mudah dipahami bahwa walau berada dalam control social politis pemerintahan orde baru, gerakan buruh tidak begitu saja melupakan apa yang telah menjadi hasil dari perjuangannya akan THR, dan ini menjadi sumber ingatan kolektif masyarakat yang dikemudian hari terlembagakan sebagai kebiasaan.
Sumber Bacaan
Suryomenggolo jafar, politik perburuhan era demokrasi liberal 1950an, Yogyakarta: pusat studi dan dokumentasi sejarah Indonesia, 2015.
Pakpahan, Muchtar, rakyat menggugat, Jakarta: pustaka forum adil sejahtera, 1996.
Sabtu, 01 September 2018
SITUASI DAN KONDISI PERKEBUNAN DI SUMATERA TIMUR PADA TAHUN 1945-1951
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT. Tuhan Yang Maha Esa. Berkat rahmat dan karunianya saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini yang berjudul “Situasi dan Kondisi Perkebunan di Sumatera Timur Pada Tahun 1945-1951.” tepat pada waktunya. Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah “Sejarah Perkebunan di Sumatera Timur”.
Makalah ini telah disusun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. untuk itu saya menyampaikan banyak terima kasih kepada yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini. Dan harapan saya semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan pembaca tentang sejarah perkebunan di Sumatera Timur, khususnya pada masa setelah kemerdekaan Indonesia.
Demikian yang dapat saya sampaikan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Dan saya menyadari bahwa makalah ini belum sempurna. Oleh karena itu, saya menerima saran dan kritik yang membangun dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Medan, 12 Januari 2018
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ........................................................................................... i
Daftar Isi .................................................................................................... ii
BAB I: PENDAHULUAN ........................................................................ 1
A. Latar Belakang .............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................... 1
C. Tujuan Makalah ............................................................................ 1
BAB II: PEMBAHASAN ......................................................................... 2
A. Sumatera Timur Pada Awal Kemerdekaan Indonesia .................. 2
B. Nasionalisasi Perkebunan Pada Tahun 1946-1947 ....................... 3
C. Perkebunan Klumpang/Klambir Lima Menjadi Lautan Api ........ 4
D. Pelaksanaan Dan penghasilan Perkebunan Di Sumatera Timur
Tahun 1949-1952 .......................................................................... 5
BAB III: PENUTUP ................................................................................. 8
A. Kesimpulan ................................................................................... 8
B. Saran ............................................................................................. 8
Daftar Pustaka ......................................................................................... iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkebunan di Sumatera Timur pertama kali dirintis oleh J. Nienhuys yang membuka perkebunan tembakau di Deli. Tembakau Deli merupakan komoditas ekspor di pasaran Eropa yang memiliki kualitas yang sangat bagus sehingga digemari di pasaran Eropa dan menjadikannya terkenal di pasaran Eropa. Keberhasilan yang diperoleh Nienhuys dengan keuntungan besar yang diperoleh telah menarik perhatian para pengusaha perkebunan asing Eropa untuk berlomba-lomba melakukan investasi perkebunan di Sumattera Timur. Komoditas yang mereka tanam adalah tembakau, karet, kelapa sawit, teh, dan lainnya. Sumatera Timur berkembang menjadi perkebunan yang besar.
Namun ketika Jepang masuk ke Sumatera Timur, seluruh perkebunan milik kolonial diambil alih seluruhnya oleh Jepang. Dan perkebunan-perkebunan banyak yang dialihkan kepada tanaman pangan dan untuk kebutuhan perang Jepang. Sehingga lahan-lahan perkebunan banyak yang berkurang. Dan ketika Indonesia merdeka lahan-lahan perkebunan banyak yang dinasionalisasi oleh Indonesia. Hal ini membuat pemakalah ingin mengkaji bagaimana situasi dan kondisi perkebunan tersebut setelah indonesia merdeka.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kondisi Sumatera Timur pada awal kemerdekaan Indonesia?
2. Bagaimana situasi perkebunan di Sumatera Timur ketika awal kemerdekaan Indonesia?
3. Apa yang menyebabkan terjadinya nasionalisasi perkebunan-perkebunan di Sumatera Timur
4. Bagaimana pelaksanaan dan penghasilan perkebunan di masa kembalinya perkebunan terhadap pemiliknya?
C. Tujuan Makalah
Untuk mengetahui apa saja yang terjadi di perkebunan Sumatera Timur setelah terjadinya kemerdekaan Indonesia serta untuk mengetahui bagaimana hasil perkebunan di Sumatera Timur setelah Indonesia merdeka.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sumatera Timur Pada Masa Awal Kemerdekaan Indonesia
Sumatera dalam panitia persiapan Kemerdekaan Indonesia diwakili tiga pemimpin politik dari Sumatera Timur, yaitu: DR Mohd. Amir, Tengku Mohd. Hasan dan Abdul Abas. Pada tanggal 19 Agustus 1945, panitia itu mengeluarkan sebuah keputusan yang menetapkan Sumatera sebagai satu dari delapan provinsi Indonesia. Presiden Soekarno mengangkat Tengku Hassan sebagai gubernur pertama untuk Sumatera. Tiga wakil Sumatera itu mengharapkan otonomi dalam urusan-urusan dalam dan luar negeri, tetapi bersedia menerima status provinsi di dalam Republik Indonesia setelah dibahas dengan utusan-utusan yang lain.
Ketika mereka tiba di Medan, Dr. Amir dan Tengku Hassan membentuk Komite Nasional Indonesia untuk Sumatera Timur. Hal ini ditentang oleh para Sultan dan pendukung-pendukungnya, mereka menghawatirkan masa depan politik mereka sendiri. Tetapi Komite ini mendapat dukungan yang sangat kuat dari golongan-golongan pemuda. Di Sumatera Timur, seperti di Jawa, golongan-golongan pemuda memainkan peranaan yang sangat penting dalam menjamin perjuangan untuk mempertahankan Republik Indonesia. Kepada orang-orang Jepang layak diberikan penghargaan karena telah melatih dan mengajarkan kepada pemuda Indonesia nasionalisme militan yang tinggi ditambah dengan perasaan-perasaan anti-Barat yang sangat kuat. Sumber indoktrinasi yang penting adalah pusat-pusat pelatihan pemuda (Seinen Renei Sho), yang diciptakan oleh Jepang untuk memberikan latihan politik dan militer berbarengan dengan kursus bahasa Jepang dalam waktu singkat. Di Sumatera Timur mereka menyelenggarakan dua pusat latihan seperti itu, satu di Medan dan satu lagi di Nagahuta dekat Pematang Siantar, wilayah pegunungan Simalungun. Tamatan dari pusat-pusat ini dapat memilih untuk memasuki Gyugun (Organisasi Angkatan Darat Jepang) maupun untuk memasuki pemerintahan sipil. Kebanyakan dari tamatan Medan menjadi perwira-perwira Gyugun dan dengan demikian menerima latihan militer tambahan.
B. Nasionalisasi Perkebunan Pada Tahun 1946-1947
Sepanjang tahun 1946 dan paruh pertama tahun 1947, manajer-manajer onderneming besar tidak menemui jalan masuk ke perkebunan mereka, tetapi bersama-sama dengan pejabat-pejabat sipil dan militer Belanda terkurung di Medan dalam kepungan yang ketat yang dipertahankan oleh pasukan-pasukan Indonesia di sekeliling garis terdepan itu. Keadaan di garis terdepan menjadi lebih buruk setelah penarikan pasukan-pasukan Inggris dalam bulan November 1946. Berulang-ulang pasukan-pasukan bersenjata Indonesia mengadakan tekanan bahkan menghentikan penyediaan air serta mencegah pamasukan bahan-bahan pangan dari pedalaman ke kota, yang dengan sendirinya menimbulkan kesukaran yang berat bagi penduduk sipil di Medan.
Saling melempar tuduhan yang tajam terjadi terus-menerus antara pasukan-pasukan Belanda dan Indonesia, masing-masing pihak menuduh yang lain melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap persetujuan genjatan senjata tanggal 14 Oktober 1946, terhadap garis damarkasi Medan yang disetujui tanggal 7 Desember 1946 selama kunjungan dua anggota Kabinet Republik, Amir Sjarifuddin dan Dr. A.K. Gani ke Sumatera; Dan terhadap Perjanjian Linggarjati kesulitan-kesulitan itu, sebahagian ditimbulkan oleh penolakan golongan-golongan militer Sumatera Timur, terutama pasukan-pasukan bersenjata yang berada di bawah pengaruh Persatuan Perjuangan, terhadap Perjanjian Linggarjati. Pengikut-pengikut PP menentang terutama ketentuan yang meminta dikembalikannya onderneming-onderneming kepada para pemiliknya, dan sebaliknya mendesak supaya semua perkebunan dinasionalisasi.
Selama masa ini perkebunan-perkebunnan itu memainkan peranan penting dalam Perjuangan Kemerdakaan Indonesia. Perkebunan-perkebunan itu dikuasai TRI dan golongan-golongan militer lainnya, yang menjual karet dan produk-produk perkebunan lainnya di Malaya baik secara langsung atau dengan bantuan perantara-perantara Cina. Penjualan-penjualan ini melengkapi dana-dana yang sangat dibutuhkan untuk pemerintahan Gubernur Hassan dan memungkinkan panglima-panglima militer untuk mengorganisasi, mempersenjatai dan memelihara unit-unit senjata mereka. Pejabat-pejabat Belanda dengan keras menentang perdagangan ini, yang mereka anggap sebagai penyeludupan. Pada akhir bulan Januari 1947 mereka membentuk blokade laut untuk mencegah ekspor produk-produk perkebunan dari wilayah Republik. Angkatan Laut Belanda memperlakukan semua komoditi yang diperkirakan berasal dari perkebunan-perkebunan sebagai barang gelap, mereka beranggapan bahwa produk-produk itu telah dihasilkan sebelum penyerahan Belanda pada bulan Maret 1942. Pihak Republik sebaliknya menganggap blokade itu sebagai pelanggaran terhadap semangat Perjanjian Linggarjati.
C. Perkebunan Klumpang/Klambir Lima Menjadi Lautan Api
Banyak orang yang ttidak tahu bahwa Klumpang dan Klambir Lima pernah menjadi lautan api yang cukup mengerikan. Betapa tidak seolah-olah kampung ditempat itu telah menjadi mangsa api semuanya. Padahal lidah api “sijago merah” yang menjilat ke angkasa itu di beberapa tempat dan ditempat yang dekat, karena bangsal-bangsal tembakau Belanda berhasil dibumi hanguskan. Jumlahnya tidak kepalang tanggung yaitu 68 bangsal dan sebuah gudang besar tempat “pemeraman” tembakau ditelan sijago merah. Sesuai dengan waktu yang telah ditentukan yaitu tanggal 17/18 Februari 1949, pasukan yang ditugaskan telah siap sedia ditempat masing-masing. Jam 19.30. waktu telah gelap dan suasana cukup sepi, maka bangsal-bangsal yang ada di Klambir Lima itupun menjadi lautan api. Sabotase yang dilakukan atau dipimpin oleh Dan Ton Sadiman tidak sepi dari tembak menembak dengan pasukan pengawal perkebunan (O.B) dengan pasukan yang melakukan sabotase itu. Dalam tembak menembak itu beberapa orang dipihak Belanda tertembak mati oleh pasukan “Gagak Hitam” yang dipimpin oleh Sadiman.
Aksi bumi hangus di Klumpang terlambat 30 menit, karena menunggu kode dari Medan, yaitu peledakan mesin pembangkit tenaga listrik di Gelugur, yang dijanjikan oleh Aneka Warna dan Usman Effendi. Untunglah Wardi dari seksi perhubungan menyampaikan berita, bahwa usaha untuk melakukan sabotase terhadap tenaga pembangkit listrik mengalami kegagalan. Karena itu Dan Tom Satim segera memerintahkan kepada Dan Ru yang telah siap menanti perintah pelaksanaan sabotase. Komandan Regu Tukijo membakar bangsal pengeringan tembakau yang berada di samping gudang besar “pemeraman” tembakau. Gudang itu berisi tembakau hasil dua kali panen dari perkebunan Mabar, Sentis, Sei Mencirim, Klambir Lima dan Klumpang. Tidak kurang 1000 bal tembakau bermutu tinggi yang menjadi kebanggaan Belanda segera akan diekspor musnah menjadi mangsa si “jago merah”. Beberapa puluh tumpukan besar tembakau yang belum dibal turut menjadi mangsa api. Dalam aksi di Klumpang ini tidak kurang dari 36 bangsal tembakau ditelan sijago merah dan 32 bangsal di Klambir lima. Jadi pada malam itu tidak kurang dari 68 buah bangsal yang menjadi mangsa api. Pihak Belanda merasa sangat terpukul dengan sabotase yang dilakukan oleh para pejuang Republik Indonesia.
D. Pelaksanaan Dan penghasilan Perkebunan Di Sumatera Timur Tahun 1949-1952
1. Tembakau
Pada tahun 1948, seluruh perkebunan tembakau di kabupaten Deli Serdang telah dikembalikan kepada pemiliknya. Dan pada tahun 1949, sebahagian besar dari 44 perkebunan dari sebelum perang, yang tidak rusak parah atau hancur telah dikerjakan kembali walaupun terdapat beberapa perkebunan atau bangsal yang digabungkan menjadi satu untuk dapat lebih efisien. Bangsal-bangsal didirikan kembali dan bengunan-bangunan yang rusak dan dibutuhkan telah dibangun kembali. Karena kurangnya tenaga berat atau peralatan seperti cangkul dan babat, serta naiknya upah dan ongkos maka pengusaha melakukan percobaan secara besar-besaran dengan tenaga mesin dan hasilnya adalah sangat memuaskan.
Pada tahun 1951, jika dibandingkan dengan tahun-tahun yang lalu, maka luas tanaman semakin berkurang dan jika dibandingkan dengan angka-angka maka luas tanaman hanya 30% saja. Mundurnya luas tanaman tembakau dalam tahun-tahun terakhir ini disebabkan beberapa kesulitan yang dialami oleh perkebunan. Kesulitan yang utama adalah soal tanah. Semasa pendudukan Jepang banyak tanah perkebunan tembakau yang dijadikan ladang untuk menambah bahan makanan. Hal yang demikian ini bertambah banyak ketika terjadinya agresi. Luas tanah-tanah ini jika dibandingkan dengan luas konsesi hanya sedikit sekali, tetapi karena letaknya berserak-serak maka sulit untuk perkebunan untuk mendapat tanah yang berdekat-dekatan dan yang belum pernah dijadikan ladang.
Pada bulan Februari 1951 terjadi pemogokan umum yang mengganggu pekerjaan pemindahan bibit persemaian ke penanaman luas. Pada Juni 1951 timbul pula kesulitan karena organisasi buruh melarang anggotanya menjalankan pekerjaan lembur selama belum terdapat keputusan tentan uang lembur tersebut. Pekerjaan yang terganggu karena ini ialah pekerjaan menjunduk tembakau dibangsal yang sudah kering. Walaupun tidak semua buruh yang mentaati perintah organisasinya, tapi tidak sedikit juga pekerjaan dihentikan waktu habis tempo kerja dan daun tembakau dibiarkan dalam bangsal menjadi kuning atau busuk. Juga karena tidak ada yang kerja lembur, maka pekerjaan lolosan tembakau yang biasa dilakukan malam tidak dijalankan lagi sehingga mengakibatkan bangsal penuh tembakau dan tidak ada tempat lagi untuk petikan baru. Maka daun yang telah tua tidak dapat dipetik lagi dan kering dipohonnya. Hal-hal tersebut sangat mengurangi kualitas tembakau. Di samping itu produksi tembakau pun sudah berkurang. Seperti terlihat pada tabel berikut:
Tahun Luas Tanaman Dalam Veld Hasil Dalam Pak
1939 20.079 151.550
1940 17.864 138.810
1949 7.139 70.224
1950 6.992 48.897
1951 6.552 42.000
2. Kelapa Sawit
Dalam tahun 1950 terdapat 30 kebun kelapa sawit dengan luas 59.120 ha yang menghasilkan. Penghasilan tahun 1950 adalah 124.614.312 kg minyak dan 30.572.035 kg biji kelapa sawit. Dalam tahun 1951 terdapat 30 kebun kelapa sawit dengan luas 61.196 ha tanaman yang menghasilkan. Penghasilan tahun 1951 berkurang dari penghasilan 1950, yaitu 114.860.888 kg minyak dan 29.855.969 kg biji kelapa sawit. Kemunduran ini sebagian besar akibat dari pemogokan-pemogokan dalam waktu tersebut. Dalam tahun 1952 di Sumatera Timur tercatat 30 kebun kelapa sawit dengan luas yang bisa menghasilkan 66.765 ha dan yang dipungut hasilnya adalah 64.756 ha. Dibandingkan dengan tahun 1951, angka penghasilan meningkat. Ini karena penambahan tenaga kerja. Penanaman baru dibeberapa kebun diadakan menurut rencana yang tertentu. Malahan ada kebun yang mengadakan konvensi dari karet ke kelapa sawit. Jumlah hasil tahun 1952 di Sumatera Timur adalah 136.641.100 kgminyak kelapa sawit dan 36.635.930 kg biji kelapa sawit.
3. Karet
Pada awal tahun 1950 banyaknya kebun yang menghasilkan ada 129 dan pada akhir tahun 1950 meningkat menjadi 135 dengan luas tanaman 120.598 ha. Dari luas tanaman tersebut menghasilkan 92.339.649 kg karet, terdiri dari sheets 56.072.548 kg (61%), crepe 14.859.705 kg (16%), zoolcrepe 3.597.713 kg (4%), latex 9.618.527 kg (10%) dan lain-lain jenis 8.161.156 kg (9%). Pada tahun 1951 terdapat 150 kebun dengan luas 139.318 ha. Dan menghasilkan 101.173.964 kg karet. Penghasilan perkebunan karet tidak terhindar pula dari pemogokan. Hal ini berlangsung pada bulan Februari 1951 dengan merosotnya hasil hingga 1/3 dari hasil panen Januari. Pada tahun 1952 luas tanaman yang menghasilkan adalah 208.008 ha, tapi yang di kerjakan hanya 170.268 ha dan yang lainnya tidak disadap karena kekurangan tenaga penderes atau tenaga kerja. Jumlah hasil tahun 1952 adalah 149.601.464 kg karet. Terdiri dari sheets 84.641.861 kg, crepe 19.983.384 kg, zoolcrepe 2.265.031 kg, latex 15.810.532 kg, dan lain-lain jenis 26.900.656 kg.
4. Teh
Tentang teh dapat dikatakan bahwa pada tahun 1950 luas tanaman teh pemetikan ada 9.148 ha dengan hasil dalam tahun tersebut 38.901.160 pound daun teh basah atau 8.313.252 pound teh kering. Dalam tahun 1951 tampak kenaikan hasil yaitu pada 10 perkebunan dengan rata-rata luas tanaman teh pemetikan 8.768 ha, dengan hasil 51.426.510 pound teh basah atau 10.919.117 pound teh kering. Dari penghasilan 1951 ini telah diangkut dari kebun untuk ekspor sebesar 7.566.463 pound dan untuk dalam negeri 3.214.284 pound.
Pada bulan Februari 1951 ada terjadi pemogokan yang menyebabkan merosotnya penghasilan sampai lebih dari separuh penghasilan bulan lalu, tetapi keadaan ini dapat diatasi dan tahun produksi 1951 dapat ditutup dengan kenaikan hasil dari tahun 1950. Pada tahun 1952, bulan Agustus ditutup pula dua kebun kepunyaan Sumatera Tea Estates (Mardjandji dan Martoba) karena menderita kerugian. Kebun-kebun ini pada awal tahun 1953 dibuka kembali oleh Bank Industri Negara yang mengambil over exploitasinya. Pada akhir 1952, luas tanaman teh pemetikan ada 6.867 ha. Hasil pada tahun 1952 adalah 13.157.082 pound teh kering. Jadi, tampak kenaikan juga.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Sumatera dalam panitia persiapan Kemerdekaan Indonesia diwakili tiga pemimpin politik dari Sumatera Timur, yaitu: DR Mohd. Amir, Tengku Mohd. Hasan dan Abdul Abas. Pada tanggal 19 Agustus 1945, panitia itu mengeluarkan sebuah keputusan yang menetapkan Sumatera sebagai satu dari delapan provinsi Indonesia. Presiden Soekarno mengangkat Tengku Hassan sebagai gubernur pertama untuk Sumatera. Tiga wakil Sumatera itu mengharapkan otonomi dalam urusan-urusan dalam dan luar negeri, tetapi bersedia menerima status provinsi di dalam Republik Indonesia setelah dibahas dengan utusan-utusan yang lain.
Mendengar hal itu para pemuda dan TRI langsung memblokade Belanda agar tidak masuk ke Sumatera Timur kembali untuk mengusahakan perkebunannya kembali. Para militer Indonesia menolak Belanda dan ingin menasionalisasi perkebunan-perkebunan milik asing. Belanda tidak diam karena perjanjian linggarjati sudah dilanggar oleh Indonesia, maka Belanda meakukan agresi terhadap Sumatera Timur. Dan pada tahun 1948 perkebunan-perkebunan mulai dikuasai lagi oleh pemilik-pemilik asing namun lahan mereka banyak yang mengalami kerusakan akibat pendudukan Jepang pada tahun 1942.
Penghasilan dan penyelenggaraan perkebunan setelah kembali ke pihak asing terus mengalami penurunan dalam hal hasil jika dibandingkan dengan sebelum pendudukan Jepang. Setelah tahun 1949 baru lah setiap perkebunan mengalami kenaikan penghasilan walaupun pada tahun 1951 terjadi pemogokan massal para buruh perkebunan.
B. SARAN
Bagi para pembaca pasti masih banyak menemukan kesalahan di makalah ini. Karena makalah ini masih belum sempurna. Karena di dalam makalah ini masih banyak mengalami kesalahan-kesalahan dalam hal penulisan maupun lainnya. Daripada itu penulis menerima segala saran maupun yang membangun dari para pembaca untuk kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Republik Indonesia, Provinsi Sumatera Utara, Medan: Kementerian Penerangan, 1953.
Pelzer. Karl J, Toean Keboen Dan Petani: Politik Kolonial Dan Perjuangan Agraria di Sumatera Timur 1863-1947, Jakarta: Sinar Harapan, 1985.
Twh. Muhammad, Rakyat Belanda Kaget Terhadap Kekejaman Serdadu Belanda: Di Masa Perang Kemerdekaan, Medan: Yayasan Pelestarian Fakta Perjuangan Kemerdekaan R.I., 1998.
Langganan:
Postingan (Atom)